Mengukur Kemampuan Bulog untuk Penyerapan Beras Petani

Michael Reily
15 Januari 2019, 05:00
Ilustrasi Beras Bulog
ARIEF KAMALUDIN | KATADATA

Pasokan beras di gudang Perum Bulog merupakan salah satu acuan membentuk harga beras nasional. Karena itu, Bulog dituntut agar bisa memaksimalkan penyerapan beras di dalam negeri untuk menjaga jumlah stok dan harga jual di pasar. 

Sebab, semakin banyak stok, pemerintah semakin mudah pula mengantisipasi lonjakan harga beras melalui operasi pasar. Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) menyatakan stok beras Bulog di gudang bisa dinyatakan aman jika mencapai 1,5 juta ton. Namun, jika pasokan berada di bawah batas tersebut,  akibatnya kenaikan harga beras bisa jadi tidak terelakkan.

Fenomena minimnya serapan beras Bulog sempat terjadi pada awal 2018. Hal itu disebabkan oleh kemampuan Bulog menyerap beras petani hanya 56,7% atau sebanyak 2,2 juta ton dari target 3,7 juta ton pada tahun 2017, sehingga menjadikan stok beras Bulog pada akhir tahun sangat tipis atau mencapai level 700 ribu ton. Tak hanya itu, operasi pasar yang berhasil direalisasikan perseroan pada 2017  juga hanya sebesar 58.102  ton.

(Baca: Bulog Siapkan Anggaran Rp 10 Triliun untuk Serap 1,8 Juta Ton Beras)

Dampaknya cukup mengkhawatirkan, harga beras melonjak tajam. Kala itu, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sebesar RP 9.450 per kilogram tidak mampu membendung kenaikan harga yang bisa menyentuh Rp 12.000 per kilogram. Untuk menjadikan harga jual kembali stabil, pemerintah langsung memutuskan opsi impor 500 ribu ton untuk menutup kekosongan di gudang Bulog.

Tak mau mengulang kesalahan yang sama, dalam waktu berdekatan, pemerintah memutuskan impor mencapai 2 juta ton. Langkah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menekan harga yang terlanjur tinggi melalui operasi pasar.

Bulog pun kemudian menggelar operasi pasar besar-besaran pada tahun lalu yang kemudian diketahui operasi pasar 2018 merupakan rekor penggelontoran beras  terbesar sepanjang 10 tahun terakhir, yaitu mencapai 544 ribu ton. Sementara itu, penyerapan beras dalam negeri pun masih bermasalah yakni hanya mencapai 1,5 juta ton dari target 2,7 juta ton.

Keputusan impor sebesar 2 juta ton dengan realisasi 1,8 juta ton membawa hasil. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi beras tahun 2018 berada pada level 0,13%, tidak sebesar tahun 2017 yang mencapai 0,16%.

Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar menjelaskan, permasalahan utama dalam rendahnya penyerapan beras dalam negeri karena  Harga Pembelian Pemerintah yang mengacu Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. "Harga itu sudah tidak lagi relevan, harga gabah dan beras jauh lebih tinggi," kata Bachtiar di Rapat Kerja Nasional Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (14/1).

(Baca: Jokowi Minta Bulog Kosongkan Gudang untuk Serap Beras Petani)

Berdasarkan Inpres, HPP gabah dipatok sebesar Rp 3.700 per kilogram dan HPP beras mencapai Rp 7.300 per kilogram. Sementara bila mengutip data BPS, harga gabah sepanjang 2018 sudah berada di level Rp 4.500 hingga Rp 5.300 per kilogram.

Pemerintah sebenarnya telah memberikan fleksibilitas sebesar 10%. Artinya, Bulog bisa melakukan pembelian dengan harga lebih tinggi di atas HPP,  dengan harga gabah sebesar Rp 4.070 per kilogram dan beras mencapai Rp 8.030 per kilogram.

Halaman:
Reporter: Michael Reily
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...