RUU PPSK Atur Penyelenggaraan Bursa Karbon, Pakar Soroti Peran OJK
Komisi XI DPR telah menyetujui Rancangana Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) untuk dibawa ke Sidang Paripurna untuk disetujui dan disahkan menjadi undang-undang. Beleid ini salah satunya mengatur penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia.
Kementerian Keuangan mengatakan pembentukan bursa karbon yang kredibel saat ini menjadi prioritas utama pemerintah ketimbang implementasi pajak karbon, sebagai salah satu langkah utama Indonesia untuk menurunkan emisi karbon dan gas rumah kaca (GRK).
Pajak karbon akan menjadi penopang bursa karbon dan meningkatkan kredibilitasnya. “Yang paling ingin kami dorong dalam menurunkan GRK adalah carbon pricing, yang ada dua skema, pajak dan pasar. Pasar ini yang ingin kami dorong,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, beberapa waktu lalu, Kamis (8/12).
Adapun bursa karbon diatur khusus dalam tiga pasal di dalam RUU PPSK. Berikut adalah poin-poin penting pengaturan bursa karbon dalam RUU tersebut:
Pada Pasal 23 angka 1 disebutkan bahwa perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon. Pada Pasal 23 angka 2 dijelaskan bahwa unit karbon merupakan efek berdasarkan undang-undang ini.
Kemudian pada Pasal 24 angka 1 menjelaskan bahwa perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. Pada angka 2 dijelaskan bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.
Lalu pada angka 3 disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang dapat memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun angka 4 menyatakan bahwa penyelenggara pasar tersebut dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis unit karbon berdasarkan peraturan OJK.
Perdagangan karbon melalui bursa karbon dapat dilakukan dengan pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan/atau administrasi transaksi karbon. Hal ini diatur dalam Pasal 24 angka 5.
Adapun pengembangan infrastruktur perdagangan karbon tersebut dilakukan secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dengan otoritas pengawas bursa karbon.
Pasal 25 mengatur bahwa perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari OJK. Lalu Pasal 26 angka 1 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon diatur dalam peraturan OJK.
Febrio mengatakan bahwa Kemenkeu akan bekerja sama dengan OJK dalam pembentukan bursa karbon yang kredibel dengan menerbitkan pajak karbon.
Peran Sentral OJK Dalam Bursa Karbon Disorot
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti peran Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang dinilai terlalu dominan dalam penyelenggaraan bursa karbon yang diatur dalam RUU PPSK.
"Daripada menitikberatkan fungsi tunggal OJK, pengaturan desain infrastruktur bursa karbon hingga sistem pengawasan pasar karbon perlu diawasi oleh regulator yang relevan seperti Bappebti," kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira beberapa waktu lalu, Selasa (22/11).
Menurut dia, Bappebti sebaiknya dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditas ketimbang efek. “Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasil perdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan,” tambahnya.
Pernyataan Bhima berangkat dari praktik penerapan kredit atau bursa karbon di sejumlah negara yang melihat karbon sebagai komoditas, bukan sebagai efek. Menurutnya, apabila bursa karbon berada di bawah OJK, maka bursa karbon tidak bisa lagi didefinisikan sebagai komoditas melainkan efek sehingga konsekuensinya juga berbeda.
Apalagi mayoritas negara menempatkan kredit karbon sebagai komoditi tidak berwujud yang diperjualbelikan melalui skema perdanganan kredit karbon atau emission trading scheme (ETS).
Adapun peluang kolaborasi antara Bappebti dan OJK dapat berbentuk skema pembiayaan lembaga keuangan, dimana Bappebti bertugas mengatur perdagangan karbon, sementara OJK memfasilitasi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan karbon dengan pembiayaan lembaga keuangan.
Dia mencontohkan, perusahaan yang memiliki sertifikat penurunan emisi dapat menjaminkan sertifikatnya di perbankan. Komoditi karbon sebagai agunan akan menjadikan perusahaan yang memiliki komitmen terhadap lingkungan memperoleh lebih banyak peluang pendanaan baru.
"Hal ini juga mempertimbangkan adanya beberapa pemain existing yang sudah ada di bawah Bappebti, mereka memiliki pengalaman untuk membuat infrastruktur bursa, sehingga dirasa tidak perlu mempersiapkan infrastruktur baru di bawah wewenang OJK," ujarnya.
Pembuatan wacana infrastuktur baru di bawah komando OJK bisa menimbulkan kekhawatiran yang muncul dari masa tunggu yang lama. Kondisi tersebut akan menyebabkan bursa karbon luar negeri lebih menarik. "Padahal Indonesia memiliki potensi karbon yang luar biasa,” kata Bhima.