Negara-negara Asia Paling Rentan terhadap Perubahan Iklim

Hari Widowati
5 Januari 2024, 14:29
Semakin banyak orang terpaksa meninggalkan rumah mereka seiring dengan meningkatnya jumlah bencana iklim, terutama di Asia.
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/YU
Pengendara melintasi banjir yang masih menggenangi kawasan Taram, Limapuluhkota, Sumatera Barat, Rabu (27/12/2023).

Di Asia Tenggara, penasihat senior UNHCR untuk migrasi dan hak asasi manusia, Pia Oberoi, mengatakan kepada CNBC bahwa banyak orang yang telah berpindah tempat tinggal karena perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Namun, pergerakan seperti itu terkadang dapat disamarkan sebagai arus migrasi tradisional seperti migrasi tenaga kerja.

Sebagai contoh, hanya ada sedikit penelitian mengenai mengapa para pekerja migran Bangladesh di Asia Tenggara pindah ke luar negeri untuk bekerja. Sering kali mereka meminjam uang dalam jumlah besar untuk melakukannya.

"Beberapa dari mereka tidak memiliki tempat untuk kembali, karena perubahan iklim mungkin telah merusak produksi tanaman mereka di rumah. Sebagian lainnya mungkin akan kembali ke daerah kumuh di kota-kota tempat mereka terpaksa pindah jika mereka kembali ke negara asalnya," ujar Oberoi.

Mereka mungkin terpaksa pindah dalam konteks perubahan iklim karena tidak lagi mampu bertahan di negara asalnya. Pemerintah perlu melihat kembali jalur migrasi yang mereka tawarkan untuk melihat apa yang dapat dilakukan untuk melindungi hak asasi manusia.

Sebagai contoh, tidak mudah bagi orang-orang untuk kembali menemui keluarga mereka melalui jalur migrasi ini meskipun hak untuk hidup bersama keluarga itu penting.

"Kita perlu melakukan penelitian yang lebih baik untuk memahami situasi dan kerentanan mereka, dan kemudian membangunnya menjadi jalur untuk memberikan respons perlindungan," kata Oberoi. Negara-negara dapat melihat ke dalam sistem hukum mereka untuk mencari cara membantu orang-orang yang terkena dampak perubahan iklim.

Tiga Langkah untuk Menangani Pengungsi Akibat Perubahan Iklim

Thomas mengatakan negara-negara perlu fokus pada tiga langkah untuk menangani pengungsian akibat perubahan iklim. Ketiga fokus tersebut adalah bantuan dan rehabilitasi, adaptasi terhadap perubahan iklim, dan mitigasi dengan melakukan dekarbonisasi ekonomi.

Ia mengatakan bahwa negara-negara Asia tidak siap untuk membantu dan merehabilitasi para pengungsi, serta kurang berhasil dalam membangun jaring pengaman sosial dan finansial.

"Sering kali, masalahnya adalah ketika masalah datang, Anda belum siap dengan pembiayaannya," katanya. Dalam hal adaptasi, uang yang dialokasikan untuk langkah-langkah tersebut, seperti pertahanan pesisir, harus dianggap sebagai bagian dari anggaran investasi, bukan anggaran opsional.

Sementara itu, Wood menyarankan agar negara-negara lain di belahan bumi utara atau negara-negara industri yang telah berkontribusi lebih banyak terhadap perubahan iklim, juga harus meningkatkan kapasitas mereka. Hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk penyediaan jalur migrasi dan kesempatan kerja, serta pendanaan untuk membantu negara lain beradaptasi dan mengelola masalah ini.

Pada 2009, negara-negara maju berjanji untuk memobilisasi dana sebesar US$100 miliar per tahun hingga tahun 2020 untuk membantu negara-negara miskin yang terkena bencana akibat perubahan iklim. Bulan lalu, OECD mengatakan bahwa janji yang sudah terlambat itu mungkin telah tercapai.

Namun, dana tersebut hanyalah sebuah titik awal. Thomas mengatakan opini publik harus berubah dan tekanan harus diberikan kepada para politisi untuk segera bertindak.

"Saat kita berbicara, berdiskusi, dan berdalih, jutaan migran iklim adalah korban yang terlupakan dari perubahan iklim. Mereka tersembunyi, tidak memiliki suara, dan bahkan tidak memiliki identitas," kata Thomas.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...