Kritik Mobil Listrik yang Tak Sejalan dengan Pengurangan Emisi

Image title
20 Januari 2021, 16:02
mobil listrik, emisi karbon, kementerian esdm, baterai listrik
Markus Mainka/123rf
Ilustrasi. Komisi VII DPR kritik pengembangan mobil listrik yang tak selaras dengan target bauran energi dan pengurangan emisi.

Guna mengejar target tersebut, langkah termudah adalah mengintegrasikan pembangkit tenaga surya atau PLTS atap di SPKLU. “Jadi, pengisian baterai tidak pakai listrik energi fosil,” katanya. 

KESIAPAN STASIUN PENGISIAN KENDARAAN LISTRIK UMUM PLN
Ilustrasi. Stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww.)

Pengembangan Mobil Listrik dan Pembangkit EBT 

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat program kendaraan listrik saat ini akan menciptakan sumber emisi baru yang berdampak buruk ke lingkungan.

Emisi tidak hanya bersumber dari PLTU, tapi juga pertambangan nikel sebagai bahan baku baterai. “Tata kelola pertambangan saat ini masih buruk,” katanya. 

Pengembangan kendaraan listrik sebaiknya tidak dijadikan solusi untuk mengurangi emisi karbon. Posisinya hanya sebagai bagian dari transisi energi saja. Tata mengibaratkan mendorong mobil setrum tapi masih memakai listrik dari batu bara seperti membersihkan rumah dengan sapu kotor. 

Karena itu, perlu strategi lebih besar. Pengembangan kedua hal itu harus berjalan beriringan. Peta jalan kendaraan listrik sebaiknya selaras dengan transisi energi pembangkit dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL.

Langkah paling konkret lainnya adalah pemerintah melakukan moratorium PLTU batu barah tahun ini. Cara ini tidak akan mengganggu pasokan karena kondisi listrik saat ini sedang berlebih. 

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat pengembangan mobil listrik seperti buah simalakama. Namun, program ini harus tetap berjalan. Negara lain telah melakukan langkah serupa untuk melakukan transisi energi. 

PLTU sebenarnya memiliki teknologi untuk mengurangi gas buang. Namanya, ultra supercritical  atau USC. “Kita perlu mengembangkan pembangkit ramah lingkungan. Tapi ini masih jalan panjang,” ucap Mamit. 

Opsi pengembangan pembangkit menggunakan gas bumi bisa menjadi lebih baik dibandingkan batu bara. Persoalannya, harga gas tak seekonomis batu bara.

Ia memperkirakan ketergantungan Indonesia pada bahan bakar batu bara masih akan cukup lama. Program 35 ribu megawatt masih didominasi PLTU. 

RUPTL 2021-2030 yang akan terbit sebaiknya memprioritaskan porsi bauran EBT. "Saya kira yang paling mudah adalah ganti bahan bakar mobil dulu sambil pararel menyiapkan pembangkit energi terbarukan," ujarnya.

Sebelumnya, pengembangan kendaraan listrik secara masif sempat mendapat kritik dari bos pabrikan mobil terbesar dunia yakni Toyota. Menurut dia, model bisnis otomotif saat ini akan runtuh jika industri beralih ke kendaraan listrik terlalu tergesa-gesa.

Presiden Toyota Motor Corporation Akio Toyoda mengatakan Jepang akan kehabisan listrik pada musim panas apabila semua mobil memakai tenaga listrik. Infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung armada kendaraan listrik akan menelan biaya 14 triliun hingga 37 triliun yen. Angka ini sekitar Rp 1.919 triliun hingga Rp 5.974 triliun dengan asumsi kurs Rp 137,14 per yen. 

Pengurangan emisi karbon menjadi tidak efektif karena sebagian besar listrik di negara itu memakai bahan bakar batu bara dan gas alam. “Semakin banyak EV yang kita buat, semakin buruk emisi karbondioksida,” kata Toyoda, dikutip dari Observer.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...