Ada Nuklir di RUU EBT, Komitmen Dorong Energi Terbarukan Dipertanyakan
Institute for Essential Services Reform (IESR) pesimistis rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau EBT yang masih dibahas akan berdampak pada pengembangan energi terbarukan. Sebab, pengembangan energi nuklir masuk di dalam RUU tersebut.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan RUU EBT sangat rancu dan bertentangan dengan semangat memajukan energi terbarukan. Pasalnya, menurutnya yang lebih dominan justru energi baru (EB) yaitu nuklir, dalam hal ini pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
Ia pun menyarankan agar DPR merevisi RUU EBT menjadi RUU Energi Terbarukan agar dapat efektif dan berdampak pada pengembangan energi terbarukan (ET), yang fokus pada akselerasi pengembangan dan pemanfaatannya.
"Mulai dari hulu (R&D), pengembangan industri ET, kewajiban pemanfaatan ET di tingkat produsen dan konsumen energi, insentif pemanfaatan ET, serta dukungan dari pemerintah daerah dalam memajukan ET," kata Fabby kepada Katadata.co.id, Jumat (24/12).
Selain itu dengan berlarut-larutnya pembahasan RUU EBT yang masih jalan di tempat, investor juga akan melihat hal tersebut sebagai ketidakkonsistenan DPR dan pemerintah dalam mendukung ET.
"Political will yang akan diterjemahkan ke dalam country risk yang tinggi. Kalau risiko tinggi artinya cost financing tinggi dan expected return on investment juga tinggi. Ini akan memperlambat investasi dan daya saing ET," katanya.
Karena itu, Presiden Joko Widodo harus segera membuka ruang komunikasi dengan DPR. Khususnya, untuk meluruskan substansi RUU EBT menjadi RUU ET sebagai sikap pemerintah. Simak databoks berikut:
Meskipun, RUU EBT merupakan inisiatif DPR, namun tidak ada salahnya eksekutif menyampaikan pandangannya atas RUU tersebut. "Soal pengembangan PLTN, dikeluarkan dari draft RUU EBT dan dimasukan saja dalam revisi UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran, melengkapi aspek bisnis dan komersial," ujar Fabby.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai dampak RUU EBT terhadap tata kelola dan tata niaga EBT sangat besar. Saat ini masalah utama terhambatnya pengembangan EBT karena tidak ada jaminan kepastian hukum, sehingga kurang menarik bagi iklim investasi.
"RUU EBT sudah pasti tidak selesai tahun ini karena pembahasan belum dimulai, DIM (daftar inventarisasi masalah) dari pemerintah juga belum ada, tentunya ini sangat disayangkan," katanya.
Dia pun berharap awal tahun depan RUU ini dapat segera dibahas dan diselesaikan. Menurutnya, akan lebih baik jika pembahasan RUU EBT disinergikan dan selaraskan dengan rencana perubahan UU Energi UU 30 Tahun 2007.
Selain itu, ugrensi harus segera diselesaikannya RUU EBT saat ini lantaran masih ada Revisi UU Migas yang menanti untuk segera dibahas. Mengingat, saat ini RUU Migas tidak masuk Prolegnas prioritas tahunan karena DPR masih proses pembahasan RUU EBT.
"Pilihannya adalah segera secepatnya selesaikan Pembahasan RUU EBT atau kalau tidak mungkin selesai dilewati untuk disalip dengan penyiapan RUU Migas, mengingat perubahan UU Migas juga sangat urgen dan mendesak," katanya
Menurut Bisma, setidaknya ada beberapa isu yang mengganjal RUU EBT antara lain yakni soal kelembagaan dan tata niaga, soal insentif dan tarif, serta soal masuknya pengaturan Nuklir dalam RUU EBT.