Industri Kelapa Sawit Hadapi Perubahan Iklim, Ini Strategi Sinarmas
Perubahan iklim turut berdampak kepada bisnis kelapa sawit, tak terkecuali Sinarmas. Oleh sebab itu unit usaha mereka, Golden Agri Resources (GAR) melakukan sejumlah antisipasi dampak transisi.
Mereka menyiapkan sejumlah langkah merespons dampak perubahan iklim. Pertama dengan mengembangkan benih bernilai tinggi dengan tingkat produksi 10 ton per hektar.
"Ini dua kali lipat dari yang kami produksi saat ini atau dua kali lebih dari rata-rata benih di Indonesia," ujar Managing Director, Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement, Sinar Mas Agribusiness & Food Agus Purnomo dalam acara Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) Forum 2021, Jumat (27/8).
Mereka juga memperbaiki kawasan di sepanjang sungai dengan merehabilitasi 2.700 hektare sungai. Hal ini untuk mencegah kekeringan dan mengantisipasi dampak banjir bandang.
Selanjutnya, manajemen jejak air dengan mengaplikasikan teknologi penetesan air ke setiap pohon di daerah tandus. Di sisi lain, GAR juga terus berusaha mencegah terjadinya kebakaran lahan.
Guna mitigasi transisi iklim, pihaknya juga berupaya menangkap gas metana melalui composting, merestorasi kawasan konsesi hutan, dan melakukan manajemen limbah. "Kami juga bekerja sama dengan 70 ribu petani plasma yang mengelola 21% dari kawasan tertanam yang kami miliki," ujar Agus.
Sedangkan lembaga keuangan Orbitas juga memberikan pendekatan tiga skenario bagi industri untuk merespons perubahan iklim yakni skenario historis, skenario sedikit ambisius, dan skenario ambisius.
"Sebab, deforestasi akan datang meskipun melakukan sudah melakukan skenario ambisus," kata Managing Director, Orbitas and CEO, Climate Advisers UK Mark Kenber
Skenario historis yaitu mencapai target pemanasan global tidak lebih dari 4 derajat Celsius dan terjadi apabila tidak ada intervensi banyak pihak. Dengan skenario itu, deforestasi akan terjadi secara signifikan.
Intervensi yang dimaksud adalah karbon global dan karbon regional tidak dikenakan biaya pada 2040, tidak ada izin lahan sawit baru di area lindung, penurunan harga CPO 10-12% dibandingkan 2020, hingga 11,2 juta hektare kelihangan tutupan lahan.
Kemudian, skenario moderat atau sedikit ambisius, yaitu menjaga target pemanasan global tidak lebih dari 3 derajat Celsius. Dengan skenario ini, harga karbon global ditetapkan sebesar US$ 7 per ton CO2 pada 2040.
Sedangkan, harga karbon regional di Indonesia sebesar US$ 5 per ton CO2 dan tidak ada konversi lahan baru, termasuk di area yang sudah berizin. Penurunan harga CPO dibandingkan 2020 hanya sebesar 5-7%.
Berikutnya, skenario agresif atau upaya maksimal, yaitu menargetkan pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius. Upaya ini dilakukan dengan harga karbon global yang dipatok US$ 69 per ton CO2 pada 2040. Ssedangkan harga karbon regional di Tanah Air US$ 44.
Kemudian, tidak ada deforestasi dan semua area perkebunan di gambut harus direlokasi tanpa kompensasi bagi pelaku industri dan petani. Adapun, kenaikan harga CPO dibandingkan 2020 diperkirakan mencapai 25%.
Kenber merekomendasikan industri untuk beradaptasi dengan membuka akses permodalan yang lebih luas, merangkul petani kecil dalam rantai pasok berkelanjutan, mengembangkan intensifikasi dan teknik pertanian hutan, dan memanfaatkan teknologi pengurangan emisi seperti penangkapan biogas.
Dengan melakukan upaya optimal, industri minyak kelapa sawit di Indonesia diperkirakan bisa merealisasikan nilai tambah sebesar US$ 9 miliar. "Ini dari permintaan yang lebih tinggi untuk makanan dan bioenergi," ujar dia.
Kemudian, mendorong harga komoditas 10-40% lebih tinggi, meningkatkan produksi hingga 50% pada perusahaan berkelanjutan, dan peningkatan profitabilitas.