Menteri ESDM Ungkap Alasan BASF dan Eramet Mundur dari Proyek Nikel RI
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan alasan mundurnya dua perusahaan asal eropa, BASF dan Eramet, dalam proyek pembangunan smelter nikel di Sulawesi.
“Kalau BASF kan mereka mau menggunakan produk akhir dari industrinya. Mereka mengatakan kalau sudah mendapat suplier lain,” ujarnya saat ditemui di Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) pada Jumat (28/6).
Oleh sebab itu, Arifin mengatakan akhirnya kedua perusahaan tidak melanjutkan investasinya di proyek ini. “Mungkin sudah dapat pasokan dari tempat lain, tapi kami belum tahu alasan dibaliknya,” ujarnya.
Sebelumnya, Eramet mengatakan pasar nikel global telah berubah signifikan sejak proyek tersebut dimulai sehingga perusahaan menilai tidak perlu lagi melakukan investasi besar di proyek tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Arifin mengatakan bahwa kondisi pasar nikel global saat ini terdapat pembatasan nikel yang diproduksi Cina seperti dari Eropa dan Amerika, juga Kanada. “Akibatnya permintaan turun, apalagi kondisi ekonomi melemah,” ucapnya.
Meski kedua perusahaan menyatakan mundur, namun Arifin memastikan bahwa proyek tersebut akan berlanjut. “Kami akan cari yang lain, masih banyak pihak yang mau,” kata dia.
Alasan Dari Basf dan Eramet
Manajemen BASF menyatakan bahwa perusahaan tidak akan mengevaluasi lebih lanjut potensi investasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Indonesia.
Pada 2020, BASF dan Eramet, menandatangani perjanjian untuk menilai potensi proyek baterai kendaraan listrik, dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai US$ 2,6 miliar atau Rp 42,72 triliun.
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay. Sejak dimulainya proyek tersebut, pasar nikel global telah berubah secara signifikan," kata Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE.
Kothari menyebut opsi pasokan telah berevolusi, termasuk untuk bahan baku baterai yang dibutuhkan BASF. Oleh karena itu, BASF menilai tidak perlu lagi melakukan investasi yang begitu besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterainya.
Perusahaan akan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay.
"Pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami," kata Dr. Daniel Schönfelder, Presiden divisi Katalis BASF.
Sejalan dengan BASF, Eramet juga menyatakan tidak akan melanjutkan proyek baterai raksasa ini. Dalam pernyataan resmi, manajemen Eramet menyatakan akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan terus memberikan informasi kepada pasar pada waktunya.
"Indonesia siap untuk memainkan peran penting di masa depan pasar nikel global secara keseluruhan. Eramet tetap fokus untuk mengoptimalkan potensi sumber daya tambang Weda Bay secara berkelanjutan untuk memasok bijih ke produsen nikel lokal, sementara itu kami juga menyelidiki lebih lanjut peluang untuk berpartisipasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia," kata Geoff Streeton, Group Chief Development Officer, Eramet.