Mengenal ORIDA, Mata Uang yang Pernah Mewarnai Perjalanan Indonesia

Image title
21 November 2023, 13:50
Ilustrasi, Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera. ORIDA merupakan mata uang daerah yang dikeluarkan sebagai bentuk penolakan atas beredarnya mata uang NICA pada masa Revolusi Kemerdekaan.
Koleksi Museum Bank Indonesia, www.bi.go.id
Ilustrasi, Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera. ORIDA merupakan mata uang daerah yang dikeluarkan sebagai bentuk penolakan atas beredarnya mata uang NICA pada masa Revolusi Kemerdekaan.

1. ORIDA Muncul Berawal dari Sumatera

Sebelum aturan mengenai ORIDA muncul, ide mengenai pembuatan mata uang daerah telah dijalankan oleh Provinsi Sumatera. ORIDA pertama, dimulai dari Pematang Siantar, yang mulai beredar pada April 1947.

Penggagas ORIDA pertama ini adalah Gubernur Sumatera saat itu, yakni Tengku Mohammad Hasan. Ia mengajukan usul kepada Menteri Keuangan saat itu, Sjafruddin Prawiranegara, agar diizinkan mengeluarkan uang sendiri secara terbatas.

Setelah berdiskusi panjang lebar, Sjafruddin akhirnya menyetujui usulan Hasan. Lalu, dengan berlandaskan Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan Nomor 92/K.O tanggal 8 April 1947, ORIDA pertama di Indonesia dicetak dan diedarkan.

ORIDA di Sumatera ini dikenal sebagai Oeang Republik Indonesia Sumatra (ORIPS). Nilainya setara dengan 1 ORI, dan memiliki empat pecahan, yakni Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 100.

ORIPS pertama ini memiliki tanda pengaman, serta nomor seri untuk menjamin keaslian. Pembubuhan tanda pengaman dan nomor seri diberikan, untuk menangkal upaya pemalsuan yang sebelumnya kerap dilakukan NICA untuk menghambat ORI.

Awalnya, percetakan ORIPS dilakukan di Pematang Siantar, namun kemudian dipindahkan ke Bukittinggi pada 1948. Ini sesuai dengan instruksi Presiden Soekarno kepada Panglima Divisi IX di Bukittinggi, untuk membantu mencetak ORIPS.

Perjalanan ORIDA pertama ini bukannya tanpa hambatan. Pendudukan NICA atas sejumlah wilayah di Sumatera, membuat peredaran ORIPS tidak bisa menyeluruh.

Namun, bukan berarti uang daerah langsung mati, karena pemerintah-pemerintah daerah lain di Sumatera ikut menerbitkan mata uang sendiri. Ini berkat keluarnya PP yang menjamin legalitas ORIDA dan kesetaraannya dengan ORI.

Mengutip kemenkeu.go.id, sejumlah ORIDA yang muncul di wilayah Sumatera selain ORIPS antara lain, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu.

Jenis ORIDA pun tak terbatas dalam bentuk uang. Melainkan juga dalam bentuk berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat. Ini dapat terwujud, karena salah satu kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah melalui PP 19/1947 adalah, menerbitkan alat pembayaran sementara yang sah.

2. Inisiatif Penerbitan ORIDA Meluas ke Pulau Jawa

Tak hanya di Sumatera, inisiatif menerbitkan uang daerah atau ORIDA juga dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah di Pulau Jawa.

ORIDA di Pulau Jawa pertama kali terbit dan beredar di Banten pada 11 Agustus 1948, yakni Oeang Republik Indonesia Daerah Banten (ORIDAB). Uang ini beredar atas persetujuan K.H. Achmat Chatib, selaku Residen Banten. Wilayah peredarannya meliputi Tangerang, Jasinga, dan Lampung Selatan.

ORIDA Banten terbit setelah tentara Belanda menguasai sebagian besar perbatasan di Jawa Barat dan memblokade pesisir Banten sehingga Banten terisolasi.

ORIDA Banten ini, terdiri atas empat pecahan, yakni Rp 1, Rp 5, Rp 10, dan Rp 25. Masing-masing memiliki tulisan "Darurat Tanda Pembajaran Jang Sah". Selain itu, uang ini juga turut disertai tanda tangan Achmad Chatib dalam aksara arab, serta memuat ketentuan hukuman pidana bagi pemalsu.

Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2020, di Yogyakarta, terbit pula ORIDA dalam bentuk surat tanda penerimaan uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Kemudian, di Surakarta juga terbit surat tanda penerimaan uang, yang memiliki ukuran berbeda-beda, di mana semakin besar nilai uangnya, maka semakin besar ukurannya. Misalnya, surat tanda penerimaan uang Surakarta emisi 1 November 1948 dengan nominal Rp 1, ukurannya hanya 58 mm x 93 mm. Sementara, untuk emisi yang sama dengan nominal Rp 5, berukuran 75 mm x 114 mm.

Terkait dengan masa berlaku ORIDA, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 76 tahun 1948 pada 13 Desember 1948, yang menyebut masa berlaku ORIDA akan diatur langsung oleh Menteri Keuangan. Tercatat hingga akhir 1949, terdapat 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA.

Untuk jumlahnya, tidak diketahui secara pasti berapa nominal ORIDA yang beredar. Namun, J. Soedradjad Djiwandono dkk dalam "Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959" mencatat, jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp 323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp 6 milyar pada akhir 1949.

Penerbitan berbagai jenis mata uang dan bentuk ORIDA telah membantu Indonesia tetap bertahan menghadapi serbuan uang NICA yang beredar di daerah. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap uang daerah ini, membuktikan posisi kuat Republik Indonesia di berbagai daerah pendudukan Belanda.

Penggunaan ORI dan ORIDA berakhir seiring dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949, yang menyepakati pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pada 1 Mei 1950, Pemerintahan RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran, menggantinya dengan mata uang RIS yang telah berlaku sejak 1 Januari 1950.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...