Viral Selebgram Hanum Mega Pamer Duit Segepok, Ini Sikap Ditjen Pajak
Konten kreator kecantikan Hanum Mega menjadi sorotan publik setelah videonya viral di TikTok sehingga mendapat komentar dari akun resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam video yang diunggahnya lewat akun @real.hanummegaa pada Desember lalu, Hanum terlihat memamerkan setumpuk uang pecahan Rp 50 ribu yang diduga berjumlah ratusan juta rupiah.
“Mampir dulu ah,” tulis akun TikTok Direktorat Jenderal Pajak dalam kolom komentar TikTok Hanum Mega
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti turut merespon tindakan selebgram tersebut. Namun ia belum mau mengungkapkan tindakan apa yang diambil, karena DJP harus menjaga kerahasiaan wajib pajak.
“Kami tidak bisa bicara detail karena itu adalah tugas DJP untuk menjaga kerahasiaan. Pada intinya, saya bicara umum saja,” ujar Dwi saat ditemui di Jakarta, Senin (8/1).
Secara umum, kata Dwi, apabila wajib pajak berhasil meningkatkan taraf ekonomi, maka mereka akan dikenakan pajak penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang dilakukan secara self assessment.
Maka dari itu, pajaknya dihitung dan dilaporkan sendiri oleh wajib pajak. “Kalau misalnya ada tambahan harta, kita lihat sudah dilaporkan atau belum. kalau belum, ya kita imbau untuk melapor,” ujarnya.
Ketentuan PPh 21 Bagi Bukan Pegawai
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengubah ketentuan perhitungan pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai. Perubahan ini diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi.
Aturan yang telah berlaku efektif per 1 Januari 2024 tersebut, menyebutkan bahwa PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai dihitung dengan mengalikan tarif PPh yang tertuang dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf a UU PPh sebesar 50% jumlah penghasilan bruto.
Formula perhitungan PPh Pasal 21 ini berlaku bagi bukan pegawai tanpa mempertimbangkan kesinambungan pemberian penghasilan dan kepemilikan nomor pokok wajib pajak atau NPWP.
Perbedaan Ketentuan Baru Perhitungan PPh Pasal 21 bagi Bukan Pegawai dengan Aturan Sebelumnya
Formula yang tertera dalam PMK 168/2023 ini berbeda dengan PMK 252/PMK.03/2008 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016. Berikut tiga perhitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai:
1. Bukan Pegawai dengan Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai dengan imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan, dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto.
2. Bukan Pegawai dengan Imbalan Bersifat Berkesinambungan Memiliki NPWP
Kategori kedua ini, adalah bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan, memiliki NPWP, dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan satu pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
Perhitungan PPh Pasal 21 untuk kategori ini, dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) per bulan.
3. Bukan Pegawai dengan Imbalan Bersifat Berkesinambungan Tidak Memiliki NPWP
Kategori ketiga ini, adalah bukan pegawai yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan, tetapi tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21.
PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai yang memenuhi kategori ketiga ini, dihitung dengan mengalikan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto.
Selain itu, dalam ketentuan sebelumnya, perhitungan PPh Pasal 21 bagi bukan pegawai yang menerima penghasilan berkesinambungan akan dihitung secara kumulatif. Ketentuan perhitungan secara kumulatif bagi bukan pegawai ini, tidak lagi diatur dalam PMK 168/2023.
Sebagai informasi, bukan pegawai dalam pengertian PPh Pasal 21, adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas.
Individu yang masuk dalam kategori ini, memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Tarif yang menjadi dasar perhitungan PPh 21, yakni Pasal 17 Ayat (1) huruf a UU PPh sebagai berikut:
- Penghasilan Rp 0 hingga Rp 60 juta dikenakan tarif pajak 5%.
- Penghasilan di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta, dikenakan tarif pajak 15%.
- Penghasilan di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta, dikenakan tarif pajak 25%.
- Penghasilan di atas Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar, dikenakan tarif pajak 30%.
- Penghasilan di atas Rp 5 miliar, dikenakan tarif pajak 35%.