BEI Depak 10 Emiten yang Terindikasi Pailit
Bursa Efek Indonesia (BEI) menghapus pencatatan saham atau delisting terhadap 10 emiten sekaligus dalam kurun waktu dua hari terakhir. Delapan emiten di antaranya bertatus pailit atau bangkrut. BEI juga menjatuhkan sanksi dan denda hingga Rp 50 juta kepada enam emiten karena lalai dalam menyampaikan laporan keuangan.
Adapun delapan emiten yang berstatus pailit di antaranya PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), hingga PT Nipress Tbk (NIPS).
Otoritas BEI menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat sesuai dengan ketentuan ketentuan III.1.3.1 bahwa perusahaan tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan yang berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan, baik secara finansial atau secara hukum, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai.
Kemudian sesuai dengan ketentuan III.1.3.2 saham perusahaan tercatat telah dissuspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
Selanjutnya, pada Peraturan I-N ketentuan III.5.3, apabila perusahaan tercatat telah disuspensi efek selama enam bulan berturut-turut, maka sesuai ketentuan III.5.3.1. Bursa memberitahukan kepada publik saham emiten tersebut berpotensi delisting melalui pengumuman bursa.
Peraturan ini disampaikan kembali oleh Bursa secara berkala setiap Juni dan Desember sampai dicabutnya suspensi efek tersebut atau sampai delisting.
“Sehubungan dengan telah terpenuhinya salah satu kondisi sebagaimana tersebut pada peraturan bursa nomor I-N, maka bursa memutuskan penghapusan pencatatan efek (delisting) kepada perusahaan tercatat (dalam pailit) yang efektif tanggal 21 juli 2025,” tulis otoritas BEI dalam keterbukaan informasi, dikutip Jumat (20/12).
Di samping itu, berdasarkan Pengumuman Bursa nomor Peng-SPT-00007/BEI.PP3/02-2020 tanggal 19 Februari 2020, BEI menghentikan sementara perdagangan efek NIPS karena adanya keraguan terhadap kelangsungan usaha akibat permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh perseroan dan anak usahanya.
Sebagai tindak lanjut, BEI meminta emiten yang didepak untuk mengungkapkan informasi terkait rencana buyback, yang dimulai pada 18 Januari 2025. Pelaksanaan buyback dijadwalkan berlangsung dari 20 Januari hingga 18 Juli 2025, dan delisting efektif pada 21 Juli 2025.
Berikut 10 emiten yang didepak BEI:
- PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI)
- PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ)
- PT Hanson International Tbk (MYRX)
- PT Grand Kartech Tbk (KRAH)
- PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS)
- PT Steadfast Marine Tbk (KPAL)
- PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS)
- PT Nipress Tbk (NIPS)
- PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW)
- PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX)
OJK Umumkan 8 Emiten Bangkrut, Bebas Kewajiban Laporan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya mengumumkan delapan emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah dinyatakan pailit atau bangkrut.
Emiten tersebut di antaranya PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Surabaya Agung Industri Pulp & Kertas Tbk (SAIP), dan PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS). Kemudian diikuti oleh PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Texmaco Perkasa Engineering Tbk (TPEN), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), dan PT Nipress Tbk (NIPS).
“Emiten atau perusahaan publik yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan dan pengumuman, berlaku sejak 3 September 2024,” tulis Novira Indrianingrum, Kepala Departemen Pengawasan Emiten dan Perusahaan Publik OJK, dikutip Rabu (11/9).
Novira menjelaskan bahwa delapan perusahaan terbuka tersebut dikecualikan dari kewajiban melaporkan dan mengumumkan informasi sebab sudah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan. Tak hanya itu, keputusan tersebut sudah bersifat final.
Pengecualian dari kewajiban melapor dan mengumumkan informasi ini sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.04/2015. Dengan demikian, pengecualian ini akan tetap berlaku hingga Otoritas Jasa Keuangan memutuskan untuk mencabut status pengecualian bagi perusahaan-perusahaan tersebut.