Ketua BPK Dituntut Klarifikasi Tertulis Panama Papers ke Jokowi

Ameidyo Daud Nasution
25 April 2016, 05:00
Aktivis Korupsi
Ameidyo Daud|KATADATA
Para aktivis antikorupsi mempersoalkan nama Ketua BPK dalam dokumen Panama Papers di Jakarta, Minggu (24/4).

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis diminta segera memberikan klarifikasi secara tertulis kepada Presiden Joko Widodo dan masyarakat luas perihal keberadaan nama dan asetnya dalam dokumen Panama Papers. Jika itu tidak bisa dilakukannya, Harry harus mengundurkan diri sebagai Ketua BPK untuk menjaga marwah lembaga atau badan tinggi negara tersebut.

Tuntutan itu disuarakan oleh para aktivis dan organisasi pegiat antikorupsi, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Kemitraan-Partnership, Jari Ungu, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Budget Center, Rumah Kebangsaan, dan Transparency International Indonesia. Mereka menilai Harry telah memberikan penjelasan lisan dalam berbagai kesempatan wawancara dengan media massa untuk menjelaskan pendirian perusahaannya yang terekam dalam dokumen Panama Papers. Termasuk, status dan kepemilikan perusahaan di negara suaka pajak (tax havens) tersebut saat ini.

Meski begitu, informasi yang diberikan Harry itu dinilai tidak lengkap, tanpa didukung bukti, dan bahkan saling berkontradiksi. Alhasil, kondisi itu memicu pertanyaan mengenai integritas Ketua BPK.

Untuk itulah, para pegiat antikorupsi meminta Ketua BPK memberikan penjelasan tertulis kepada Presiden Joko Widodo, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Penjelasan itu harus memuat tujuan pendirian dan aktivitas perusahaan cangkang kepunyaan Harry tersebut. Selain itu, menjelaskan identitas dan isi perjanjian dengan pihak pembeli perusahaan Harry. Ada pula permintaan kepatuhan melaporkan perusahaan itu dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan.

(Baca: Namanya Masuk Panama Papers, Ketua BPK Klarifikasi ke Jokowi)

Penjelasan tertulis yang dibuat Harry itu harus disertai bukti dokumen sehingga mendukung kredibilitas keterangan yang diberikan. Tak cuma itu, Ketua BPK juga diminta mempublikasikan penjelasan tertulis tersebut untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap integritas Ketua BPK.

Pakar audit keuangan Teuku Radja Sjahnan mengatakan, laporan tertulis itu harus ditujukan kepada DPR dan DPD yang bertanggung jawab memilih Harry sebagai Ketua BPK di masa lalu. “Sedangkan Presiden dalam hal ini merupakan pihak teraudit (auditee) oleh BPK," katanya dalam acara konferensi pers di kantor Kemitraan, Jakarta, Minggu (24/4).

(Baca: Ketua BPK: Saya Sudah Jual Sheng Yue 1 Dolar Hong Kong)

Radja juga meminta agar seluruh pejabat BPK membantu dengan menyertakan bukti memadai kepemilikan Harry di perusahaan cangkang tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan integritas seorang Ketua BPK yang harus memiliki posisi independen. "Ini untuk menjaga kepercayaan pembaca (hasil audit), kalau bias seperti ini tidak bisa publik percaya dengan BPK," katanya.

Radja pun menuntut pengunduran diri Harry apabila menolak atau tidak mampu menyerahkan laporan tertulis berikut dokumen bukti-buktinya kepada Presiden, DPR, dan DPD. Hal ini menandakan Harry sebagai pejabat publik dan auditor tidak dapat menjaga integritas dan transparansi dirinya sebagai Ketua BPK. "Apalagi auditor itu selalu meminta keterangan pihak yang diaudit secara tertulis," ujarnya.

Seperti diketahui, organisasi wartawan investigasi global (ICIJ) merilis dokumen bertajuk Panama Papers secara serentak di seluruh dunia mulai pada awal April lalu. Dokumen yang bersumber dari bocoran data firma hukum Mossack Fonseca di Panama ini menyangkut 11,5 juta dokumen daftar kliennya dari berbagai negara, termasuk Indonesia, yang diduga sebagai upaya untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak.

Sekitar 899 lebih WNI dikabarkan memiliki perusahaan cangkang di berbagai negara suaka pajak. Salah satunya adalah Harry. Meski semula membantah, Ketua BPK ini mengakui punya perusahaan cangkang di British Virgin Island bernama Sheng Yue International Limited sejak tahun 2010.

(Baca: Masuk Panama Papers, Ketua BPK: Diminta Anak Buat Perusahaan)

Ia menyatakan, perusahaan itu didirikan atas permintaan anaknya untuk menjalankan usaha keluarga. Saat terpilih menjadi Ketua BPK tahun 2014, Harry memutuskan mengundurkan diri dari Sheng Yue. Namun, lantaran proses pengunduran diri tersebut terbentur kesibukannya maka baru bisa dilakukan pada akhir 2015. Sheng Yue pun akhirnya tidak pernah beroperasi dan melakukan transaksi apapun. Karena itu, Harry memutuskan menjual perusahaan tersebut dengan harga sangat murah. “Hanya satu dolar Hong Kong saya jual waktu itu," katanya.

Di sisi lain, Harry mengakui belum melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalihnya, dia masih harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan KPK untuk membahas kepemilikannya atas Sheng Yue. “Apakah status sebagai bekas pemilik saham Sheng Yue perlu dicantumkan dalam LHKPN,” ujarnya.

(Baca: Masuk Panama Papers, Ketua BPK Belum Lapor Harta Sejak Menjabat)

Seperti diberitakan Katadata sebelumnya, sejak menjabat Ketua BPK tahun 2014, Harry belum pernah melaporkan harta kekayaannya kepada KPK. Berdasarkan lembar LHKPN kepada KPK, dia tercatat baru dua kali melaporkan harta kekayaannya, yaitu saat masih menjadi anggota DPR. Pertama, pada 2003, bekas anggota DPR dari Partai Golkar ini melaporkan total nilai kekayaannya mencapai Rp 1,095 miliar dan US$ 11.344.

Kedua, pada 2010, Harry kembali menyerahkan LHKPN. Kali ini, hartanya telah membengkak menjadi Rp 9,93 miliar dan US$ 680. Setelah itu, Harry tak pernah lagi melaporkan harta kekayaannya kepada KPK meski kemudian dia menjadi Ketua BPK tahun 2014. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, seorang pejabat wajib melaporkan harta kekayaannya sebelum dan setelah menjabat suatu posisi.

Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan, kewajiban deklarasi aset oleh para pejabat harus menjadi salah satu poin utama dari revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ia mencontohkan, tidak melihat Sheng Yue terdaftar dalam LHKPN Harry pada 2010. "Kami meragukan kejujuran beliau pada pelaporan LHKPN tersebut," katanya.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...