Danantara Dinilai Minim Pengawasan, Perlu Maksimalkan Good Corporate Governance

Ringkasan
- BPI Danantara memiliki kekuasaan besar dan potensi pengawasan yang minim, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang dan menjadi alat kepentingan politik.
- Terdapat kekhawatiran BUMN dapat disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu karena prinsip "business judgement rule" dan kerugian BUMN bukan kerugian negara, terutama dalam iklim usaha yang tidak pasti dan korupsi yang merajalela.
- Penting untuk memaksimalkan Good Corporate Governance (GCG) eksternal dan internal, dengan melibatkan pengawasan publik dan memperkuat peran pengawas profesional dan non-politis, untuk menghindari perilaku yang merugikan dan memastikan transparansi.

Sejumlah ekonom menilai perlu ada langkah mitigasi agar Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara yang bakal diluncurkan bisa berjalan optimal. Rencananya, BPI Danantara akan diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada hari ini, Senin (24/2).
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) akan memiliki kekuasaan usai resmi diluncurkan Prabowo. Meski begitu ia menyoroti potensi pengawasan yang dinilai akan minim.
Hidayat mengatakan Danantara dibentuk sebagai lembaga yang berada langsung di bawah presiden. “Ini menandakan adanya kekuasaan kelembagaan yang sangat besar, namun dengan pengawasan yang minim,” kata Hidayat, Senin (24/2).
Ia menjelaskan, dalam aturan kelembagaan yang ada Danantara tidak tunduk pada mekanisme akuntabilitas yang sama seperti badan usaha milik negara alias BUMN pada umumnya. Bahkan, dalam Undang-undang yang mengatur badan ini disebutkan bahwa kerugian yang dialami Danantara tidak akan dianggap sebagai kerugian negara.
“Implikasi dari aturan ini cukup serius. Tanpa sistem check and balances yang memadai, ada kemungkinan besar penyalahgunaan wewenang,” ujar Hidayat.
Untuk itu, ia mengatakan hal tersebut juga membuka peluang bagi Danantara untuk dijadikan alat kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Khususnya tanpa adanya konsekuensi hukum yang jelas.
“Tanpa keterlibatan penuh dari lembaga-lembaga pengawasan seperti DPR, BPK, atau KPK, publik akan sulit mendapatkan transparansi atas bagaimana uang negara dikelola oleh badan ini,” ucap Hidayat.
Wajib Maksimalkan Good Corporate Governance
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan penerapan prinsip business judgement rule dan menjadikan kerugian BUMN bukan kerugian negara akan memberikan fleksibilitas berinovasi. Khususnya kepada Danantara untuk menjadi seperti perusahaan holding investasi asal Singapura yakni Temasek.
Tetapi, Wijayanto mengingatkan saat ini iklim usaha penuh ketidakpastian. Belum lagi korupsi yang merajalela dan kentalnya politisasi BUMN di Indonesia.
“Langkah tersebut membuka peluang bagi BUMN untuk di-abuse bagi kepentingan kelompok tertentu,” kata Wijayanto.
Untuk itu, Wijayanto menekankan membangun Good Corporate Governance alias GCG menjadi kewajiban. Hal ini karena merupakan jalan satu-satunya untuk mengantisipasi ekosistem berusaha yang sangat buruk dan menghindari perilaku abusive tersebut.
“Mekanisme GCG eksternal dan internal harus dimaksimalkan,” ucap Wijayanto.
Wijayanto menjelaskan, mekanisme eksternal dibangun dengan mengedepankan transparansi. Hal ini termasuk dalam pemilihan sosok-sosok kunci, penyusunan regulasi dan pengambilan keputusan strategis.
“Biarkan rakyat, media, dan civil society ikut mengawasi. Para tikus suka kegelapan maka ciptakan terang,” ujar Wijayanto.
Sementara itu, mekanisme internal dibangun dengan memperkuat peran pengawas, komisaris, komite audit, dan internal audit. Jabatan ini perlu diisi oleh profesional, berintegritas, dan non-politis dan dijadikan partner setara bukan sebagai pelengkap semata.