Beda Pendapat Ekonom Soal Penyebab Tekanan di Pasar Modal Indonesia
Pasar modal Indonesia mengalami tekanan besar sejak akhir pekan lalu. Hal itu seiring arus keluar dana asing (capital outflow) imbas kenaikan imbal hasil (yield) SUN Amerika Serikat (AS) dan penguatan dolar AS. Namun, Kepala Ekonom PT Danareksa Research Institute Damhuri Nasution mencurigai tekanan yang tengah terjadi.
“Ada upaya (dari para pemegang bond asing yang sebagian besar adalah investor global) mendorong Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga,” kata dia, Kamis (26/4). Dengan kenaikan suku bunga, yield SUN bakal terkerek semakin tinggi sehingga keuntungan yang diraup membesar. (Baca juga: BI Tak Ragu Naikkan Bunga Acuan Jika Kurs Rupiah Bahayakan Stabilitas)
Atas dasar itu, ia pun mengisyaratkan agar BI mempertahankan bunga acuan meskipun rupiah tertekan di tengah arus keluar dana asing yang terjadi. “Bila melihat 2013-2014, kenaikan bunga justru semakin membuat rupiah terpuruk,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan moneter bank sentral Eropa atau Australia tidak bisa dijadikan acuan untuk kebijakan moneter Indonesia. Sebab, kondisi makro ekonomi tiap negara berbeda. Adapun untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah, yang diperlukan adalah ketegasan BI.
“Perlu ketegasan BI untuk bilang bahwa fundamental rupiah di level sekian, bukan hanya menjaga volatilitas, karena pasar menjadi tidak percaya,” kata dia. (Baca juga: Menko Darmin: Fundamental Rupiah di Level Rp 13.500 per Dolar AS)
Bertolak belakang dengan Damhuri, Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih meyakini investor asing keluar dari pasar modal Indonesia karena yield SUN AS memang lebih tinggi dibanding yield SUN Indonesia. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
"Rupiah melemah sehingga mereka lihat return yang mereka peroleh lebih kecil. Jadi sebelum kejadian (rupiah makin lemah), ya jual dulu obligasinya (SUN Indonesia)," kata Lana. Ini artinya, bukan untuk menekan BI.
Persoalannya, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah, di sisi lain yield SUN AS semakin melambung, maka prospeknya lebih menguntungkan menempatkan dana di SUN AS.
Ia pun menjelaskan, jika rupiah terdepresiasi 2%, sementara imbal hasil SUN 10 tahun hanya 6%, artinya investor mendapat keuntungan hanya 4%. Sementara itu, imbal hasil SUN AS sebesar 3% dalam dolar AS. Artinya keuntungan dari penempatan dana di SUN Indonesia dan AS hanya selisih 1%.
Adapun BI diprediksi Lana tidak akan menaikkan suku bunganya. "Analis memperkirakan BI 7 Days Repo Rate tetap 4,25% tidak ada yang memperkirakan naik dari analis di Bloomberg," ucapnya. Jikapun bunga acuan naik, ia meyakini hal tersebut berdasarkan keputusan logis.
Berdasarkan pada data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan investor asing di SUN kembali menyusut sepekan ini. Per Rabu (25/4), investor asing memegang Rp 852,7 triliun dari total SUN Indonesia, turun sekitar Rp 17 triliun dari posisi Jumat (20/4) pekan lalu yang sebesar Rp 869,797.
Seiring kondisi tersebut, yield SUN Indonesia merangkak naik. Mengacu pada data Trading Economics Kamis (26/4), yield SUN Indonesia tenor 10 tahun tercatat melambung 0,46% dalam sepekan menjadi 7,14%.
Kenaikan tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Yield SUN India meningkat 0,36% dalam sepekan menjadi 7,76%, Filipina meningkat 0,3% menjadi 6,29%, Vietnam naik 0,25% menjadi 4,4%, Malaysia naik 0,24% menjadi 4,19%, dan Singapura naik 0,22% menjadi 2,64%.
Sementara itu, di pasar saham domestik, investor asing tercatat membukukan penjualan bersih (net sell) sekitar Rp 5 triliunan dalam sepekan. Kondisi tersebut membuat indeks anjlok ke bawah level 6.000 sejak Kamis (26/4). (Baca juga: IHSG Longsor, 10 Saham Ini Paling Banyak Dilepas Asing)