Tanpa Tax Amnesty, Penerimaan Pajak 2016 Cuma Naik 5,7 Persen

Desy Setyowati
17 Januari 2017, 17:06
Direktorat Jenderal Pajak
Arief Kamaludin|KATADATA

Penerimaan pajak sepanjang tahun lalu sangat bergantung kepada kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tanpa setoran uang tebusan dari kebijakan tersebut, pertumbuhan pajak 2016 lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Yon Arsal menjelaskan, pertumbuhan penerimaan pajak di luar Pajak Penghasilan minyak dan gas (PPh migas) pada 2016 tumbuh 5,72 persen menjadi Rp 1.069 triliun. Ini lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang bisa tumbuh 12,64 persen.

Begitu pula dengan pertumbuhan pajak termasuk PPh migas yang hanya sebesar 4,15 persen atau lebih rendah dibanding 2015. “Jadi dibanding pertumbuhan (penerimaan pajak) 2014 ke 2015, pertumbuhan sekarang melambat,” kata Yon di Jakarta, Selasa (17/1).

(Baca: Bidik Kaum Profesional, Pemerintah Pertajam Strategi Tax Amnesty)

Ia merinci, penerimaan PPh Pasal 21 pada tahun lalu malah menurun 4,65 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena pemerintah menaikkan Penerimaan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 36 juta per tahun menjadi Rp 54 juta per tahun.

Pajak jenis ini berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan.

PPh Pasal 22 impor pun tumbuh negatif 5,56 persen. Pajak jenis ini dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang disetor ke bank persepsi. (Baca: Sri Mulyani: Bayar Pajak dan Beramal Sama Manfaatnya)

Kondisi ini seiring dengan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor yang sebesar 5,72 persen. “Meskipun tren ekspor impor membaik di tiga bulan terakhir, tapi rate-nya negatif,” ujar Yon.

Sementara itu, penerimaan pajak PPh Pasal 25 dan 29 juga menurun sebesar 7,12 persen. Menurut Yon, rendahnya penerimaan pajak dari orang pribadi karena ketika dilakukan pemeriksaan, wajib pajak memilih mengikuti amnesti pajak. “Tahun ini, kegiatan itu ada himbauan dan pemeriksaan tapi banyak wajib pajak yang close dengan amensti pajak,” kata dia.

Selain itu, Yon menjelaskan, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2016 menurun 3,59 persen. Penyebabnya antara lain, PPN dalam negeri menurun, begitu pula impor yang berkontraksi 5,72 persen.

Pertumbuhan negatif ini juga disebabkan oleh restitusi atau kelebihan bayar pajak yang harus dikembalikan oleh Ditjen Pajak. Pada 2016, restitusi mencapai Rp 101 triliun lebih tinggi dibanding 2015 yang hanya Rp 95 triliun. (Baca: Belanja di Bawah Target, Defisit Anggaran 2016 Cuma 2,46 Persen)

“Awalnya, kami berharap restitusi turun karena amnesti pajak. Tapi ini kami anggap wajib pajak yang memang berhak dapat restitusi, karena ekonominya melambat,” ujarnya.

Selama ini, menurut Yon, Ditjen Pajak mengandalkan lima sektor untuk penerimaan pajak. Sektor yang dimaksud yakni industri pengolahan, pertambangan, perdagangan, keuangan, konstruksi dan real estate.

Namun, hanya dua sektor yang tumbuh signifikan pada tahun lalu, yaitu jasa telekomunikasi dan industri keuangan. Persoalannya, objek pajak di dua sektor itu tidak terlalu banyak.

Editor: Yura Syahrul

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...