Rasio Pajak Era Jokowi Lebih Rendah Dibandingkan SBY, Ini Sebabnya
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti Rasio pajak atau tax ratio pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) lebih rendah dibandingkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Anggota komisi XI DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya menyampaikan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, namun tidak dengan rasio pajak.
Berdasarkan paparan Ditjen Pajak, rasio pajak pada masa pemerintahan Jokowi cenderung stagnan pada level 10% sejak tahun 2014 hingga 2024. Nilai itu masih kalah dibandingkan pada masa pemerintahan SBY.
“Kalau dibandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan SBY banyak menurun. Tax ratio di pemerintah ini [Jokowi] terendah [jika dibandingkan] pemerintahan SBY,” kata Primus dalam rapat Komisi XI DPR dengan Kemenkeu dikutip Senin (11/6).
Padahal, Primus melihat potensi penerimaan pajak dari kegiatan digital yang seharusnya bisa didorong. Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak digital mencapai Rp 24,12 triliun hingga April 2024.
Terendah di Masa Pandemi Covid-19
Dalam lima tahun terakhir, pemerintahan Jokowi hanya mampu mencapai rasio pajak pada kisaran 9%-10% dan 8,33% saat pandemi Covid-19 pada 2020. Rasio pajak saat pandemi merupakan yang terendah dalam setengah abad terakhir.
Rasio pajak tertinggi pada masa Jokowi terjadi pada 2014 yang mencapai 10,85%. Namun capaian rasio pajak di era SBY lebih baik, karena berada pada kisaran 11%-13%. Bahkan pernah mencapai 13,31% pada 2008 dan merupakan tertinggi di masa SBY.
Manajer Riset dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengungkapkan, lima alasan kenapa rasio pajak pada masa pemerintah Jokowi lebih rendah dibandingkan pada masa SBY.
Pertama, Indonesia terus mengalami deindustrialisasi semenjak krisis keuangan 1998. Padahal, selama ini sektor manufaktur menjadi tumpuan penerimaan pajak. Bahkan tahun lalu, sektor pengolahan berkontribusi sampai 26,9%.
Kedua, kinerja pajak Indonesia bersifat prosiklikal yang mengikuti siklus bisnis. Jika kondisi ekonomi lebih baik pada tahun lalu, maka penerimaan pajak juga ikut naik.
"Masalahnya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi selalu dalam kisaran 5% sedangkan di era SBY bisa lebih dari 6%. Dampak dari deregulasi juga masih nendang terhadap pertumbuhan ekonomi," kata Fajry kepada Katadata.co.id, Selasa (11/6).
Ketiga, masih terkait pertumbuhan ekonomi. Ada kenaikan semu penerimaan pajak akibat peningkatan inflasi secara masif di era SBY. Saat itu, dampak pencabutan subsidi BBM terhadap kenaikan harga barang dan jasa, membuat inflasi naik menjadi lebih dari 10%.
Keempat, pada pemerintahan SBY, harga komoditas sedang naik atau disebut dengan commodity super-cycle. kenaikan harga komoditas tersebut berdampak pada penerimaan pajak yang juga terjadi di era Jokowi pada 2022.
Kelima, pada masa pemerintahan Jokowi, digitalisasi ekonomi meningkat signifikan. Muncul beberapa jenis pekerjaan baru dan usaha baru yang bergantung pada ekonomi digital.
"Dampaknya pada peningkatan pekerjaan ataupun usaha informal. Di sisi lain, regulasi perpajakan yang ada menjadi tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada," kata dia.
Secara teknis, kondisi ini menyulitkan Dirjen Pajak untuk memungut pajak. Sampai akhirnya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Pajak untuk mengatasi masalah tersebut, walau baru beberapa ketentuan yang diimplementasikan.
Tantangan Penerimaan Negara
Sebelumnya, Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan alasan kenapa rasio pajak era Jokowi begitu rendah. Pertama, karena Jokowi menghadapi tantangan besar untuk mengerek penerimaan negara.
Meskipun penerimana negara cenderung stagnan selama periode pertama pemerintahan Jokowi, pendapatan pajak Indonesia secara bertahap meningkat pada periode kedua, setelah sempat menurun secara masif pada masa pandemi Covid-19.
Menurut Riefky, hal ini sudah menjadi masalah yang berkepanjangan bahwa rasio pajak Indonesia tetap rendah, sehingga kondisi ini membatasi pengeluaran fiskal untuk tujuan pembangunan.
"Walaupun pendapatan negara rendah, disiplin fiskal tetap dipertahankan sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi," kata Riefky dalam publikasi LPEM FEB UI terkait Analisis Makroekonomi Indonesia yang rilis Februari 2024.