Ditjen Pajak Usul Sanksi Pidana Perpajakan Ditambah

Aria W. Yudhistira
22 April 2015, 11:30
Katadata
KATADATA
Ditjen Pajak mengusulkan agar jangka waktu sanksi pidana perpajakan ditambah dari saat ini maksimal enam tahun.

KATADATA ? Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengusulkan agar sanksi pidana perpajakan ditingkatkan dari yang berlaku saat ini maksimal selama enam tahun. Usulan ini dimasukkan dalam rancangan perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang tengah disusun.

?Kami belum tahu berapa lama. Saya harap sih bisa sampai 20 tahun. Ini kan kayak korupsi yang dilakukan oleh wajib pajak,? kata Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak Yuli Kristiyono di Kantor Wilayah Ditjen Pajak Banten, Serang, Selasa (21/4).

Menurut dia, penambahan sanksi pidana tersebut diharapkan dapat menimbulkan efek jera kepada wajib pajak nakal. Dengan demikian dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Meski begitu, pemerintah masih akan membahas usulan jangka waktu sanksi pidana perpajakan tersebut dengan parlemen.

Lebih lanjut dia mengatakan, dalam setahun terakhir, pihaknya menemukan potensi kerugian negara dari penerbitan faktur fiktif pajak sebesar Rp 1,7 triliun. Potensi kerugian tersebut berasal dari penyisiran yang dilakukan satuan tugas (satgas) di wilayah Jakarta dan Banten. Di wilayah Jakarta total potensi kerugian negara mencapai Rp 934,21 miliar. Sementara di wilayah Banten mencapai Rp 750 miliar.

Pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menilai potensi kerugian negara dari penerbitan faktur fiktif dapat diantisipasi dengan peningkatan pengawasan pengadaan barang dan jasa. Menurutnya, selama ini Ditjen Pajak kurang aktif melakukan pengawasan karena hanya menunggu kesadaran wajib pajak untuk menerbitkan faktur sesuai aturan.

Ada tiga sumber lalu lintas pengadaan barang dan jasa yang bisa dipantau Ditjen Pajak. Pertama, penerbitan faktur dari pengadaan barang modal di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kedua, dari keterbukaan informasi terkait belanja modal perusahaan terbuka. Ketiga, penyampaian langsung di situs resmi perusahaan yang lebih modern.

Ditjen Pajak pun sering luput mengejar potensi penerimaan dari faktur yang diterbitkan kementerian dan lembaga (K/L), dan hanya fokus pada swasta.

?Di APBN kan ketahuan berapa (faktur) pajak yang bisa digunakan. Itu bukan hanya tanggung jawab Menkeu, tapi semua K/L,? kata Ronny. ?Dari situ saja, ada berapa triliun (potensi pajak). Itu (potensi) yang di depan mata, tapi malah kejar swasta yang fluktuatif.?

Hal lain yang perlu dibenahi, lanjutnya, adalah penggunaan fasilitas daring dan perbankan untuk mempermudah wajib pajak menerbitkan faktur, khususnya dengan e-faktur. Begitu juga dengan perbaikan penomoran faktur pajak.

Pemerintah sebelumnya berencana menerapkan e-faktur di Jawa-Bali pada Juli tahun ini, dan nasional pada 2016. Namun, Yuli Kristiyono mengatakan, rencana tersebut masih dalam kajian mengenai efektivitasnya dalam mengurangi penerbitan faktur fiktif.

?Itu (e-faktur) salah satu cara. Progresnya saya nggak tau detailnya. Sedang dikaji efektivitasnya, masih ada nggak celah pidananya,? tutur dia.

Reporter: Desy Setyowati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...