Nouriel Roubini Ramal 10 Kondisi Suram Greater Depression Pasca-Corona

Image title
14 Mei 2020, 21:36
Telaah - Resesi Singapura
123RF.com/alphaspirit

Risiko Deflasi Meningkat

Krisi kali ini, kata Roubini, menyebabkan resesi mendalam sekaligus menciptakan penurunan besar barang karena mesin yang tak berproduksi, tenaga kerja karena pengangguran massal, dan jatuhnya harga komoditas seperti minyak dan logam industri. Ini menyebabkan deflasi utang dan meningkatkan risiko kebangkrutan.

Penurunan Nilai Mata Uang

Seiring dengan upaya bank sentral mengurangi deflasi dan menghindari risiko kenaikan suku bunga setelah penumpukan utang dalam jumlah besar, kebijakan moneter akan menjadi semakin tidak biasa dan tak terjangkau. Mata uang semakin tak terkendali dan turun nilainya. Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menjalankan monetisasi defisit fiskal untuk menghindari depresi dan dan deflasi. Namun, kata Roubini, seiring waktu negative supply shock akan menjadi permanen dan percepatan deglobalisasi serta proteksionisme menciptakan stagflasi.

(Baca: Mewaspadai Ancaman Krisis Ekonomi Panjang Imbas Pandemi Corona)

Disrupsi Digital dalam Ekonomi

Untuk menjaga guncangan dari rantai pasok global di masa depan, kata Roubini, perusahaan negara maju akan melakukan disrupsi digital. Salah satu caranya adalah memindahkan pabrik dari negara buruh murah ke pasar domestik dengan pasar tinggi yang sudah mengafirmasi penggunaan teknologi. Namun, alih-alih membantu pekerja tetap beroperasi di rumah, tren ini akan mempercepat laju otomatisasi, menekan upah, dan semakin mengipasi api populisme, nasionalisme, dan xenofobia.

Selain itu, kata Roubini, pemindahan lokasi pabrik akan memperlebar kesenjangan global. Karena jumlah orang yang kehilangan pekerjaan akan semakin banyak dan lebih banyak pekerja menghasilkan sedikit upah.

(Baca: Polemik RUU Minerba dan Angin Segar Bagi Pengusaha Batu Bara)

Deglobalisasi

Roubini berpendapat pandemi mempercepat tren menuju yang disebutnya sebagai balkanisasi ekonomi. AS dan Tiongkok akan memutus kerja sama ekonomi yang selama ini disebut sebagai codependency. Sebagian negara besar lain akan meresponnya dengan melakukan proteksionisme guna melindungi perusahaan dan pekerja domestiknya dari gangguan global.

Maka, dunia pasca pandemi akan ditndai dengan pembatasan pergerakan barang, jasa, modal, tenaga kerja, data, teknologi, dan informasi yang lebih ketat. Menurutnya ini sudah terjadi di sektor farmasi, peralatan medis, dan makanan.   

Potensi ini dalam catatan kami sudah mulai terlihat melalui ancaman Donald Trump meningkatkan tarif dagang untuk Tiongkok. Begitupun negara eksportir pangan seperti Thailand yang menaikkan tarif eskportnya dan Vietnam yang memprioritaskan komoditi pangannya untuk kebutuhan dalam negeri.

(Baca: Krisis Pangan Dunia Menghantui Indoensia)

Serangan Terhadap Demokrasi

Roubani juga memperhitungkan potensi politik yang memperkuat tren ke arah greater depression. Menurutnya pemimpin berhaluan populis akan memanfaatkan kelemahan ekonomi, pengangguran massal, dan meningkatkan ketidaksetaraan untuk mendiskreditkan bahkan merusak iklim demokrasi. Kebijakan yang mengarah kepada mengkambing hitamkan asing sebagai penyebab krisi akan mengarus utama. Khususnya aturan membatasi migrasi dan perdagangan.

(Baca: Menakar Efektivitas Injeksi BI untuk Likuiditas Perbankan)

Kebuntuan Geostrategis AS-Tiongkok

Potensi ini, menurut Roubini, terlihat dari pernyataan-pernyataan Trump yang terus mendiskreditkan Tiongkok terkait penyebaran corona. Xi Jinping berpeluang meresponsnya dengan menyebut AS sengaja ingin mencegah pertumbuhan ekonomi Tiongkok lewat tuduhan Trump. Walhasil, segregasi antara AS-Tiongkok di bidang perdagangan, teknologi, dan pengaturan moneter semakin mendekati nyata.

(Baca: Sejarah Pandemi dan Epidemi di Dunia yang Memicu Gejolak Politik)

Perang Dingin Baru

Lebih buruk lagi, kata Roubini, perpecahan diplomatik sangat mungkin terjadi antara AS dengan para pesaingnya—Tiongkok, Rusia, Iran, dan Korea Utara—yang menciptakan perang dingin baru. Dengan semakin dekatnya pemilu AS yang menuntur Trump meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya, begitupun pesaingnya nanti, maka banyak alasan untuk meningkatkan perang siber yang bisa mengarah kepada perang militer konvensional.  

Mengingat teknologi adalah senjata utama dalam memperjuangkan kontrol industri di masa depan untuk dan dalam memerangi pandemi, maka sektor teknologi swasta AS akan semakin terintegrasi ke dalam kompleks industi keamanan nasionalnya.

(Baca: Risiko di Balik Curi Start RI Berburu Utang Global di Masa Pandemi

Faktor Alam

Terakhir tapi tak bisa diabaikan, adalah gangguan alam seperti ditunjukkan oleh krisis covid-19 yang lebih bisa menciptakan malapetaka ekonomi ketimbang krisis finansial. Epidemi berulang seperti HIV sejak 1980-an sampai sekarang dan perubahan iklim, kata Roubini, pada dasarnya adalah buatan manusia sebagai hasil dari pelayanan kesehatan dan standar sanitasi buruk, eksploitasi alam, dan interkonetivitas dalam globalisasi. Ke depannya, melihat kondisi masyarakat saat ini, pandemi akan menjadi lebih sering, parah, dan menguras ongkos ekonomi.  

(Baca: Sisi Minus Stimulus Rp 405 Triliun dalam Penanganan Virus Corona)

Sepuluh risiko ini, kata Roubini sudah mencuat sebelum corona melanda. Sekarang bisa memicu badai sempurna yang menyapu seluruh ekonomi global menjadi satu dekade keputusasaan. Pada 2030-an, teknologi dan kepemimpinan politik yang lebih kompeten mungkin dapat mengurangi, menyelesaikan, atau meminimalkan banyak masalah ini. Sehingga menimbulkan tatanan internasional yang lebih inklusif, kooperatif, dan stabil.

"Tetapi setiap akhir yang bahagia mengasumsikan bahwa kita menemukan cara untuk selamat dari Depresi Besar yang akan datang," kata Roubini. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...