Jejak Pertumbuhan Ekonomi Minus yang Pernah Dialami Indonesia

Sorta Tobing
5 Agustus 2020, 13:48
pertumbuhan ekonomi minus, pertumbuhan ekonomi kuartal ii-2020, pandemi corona, resesi, covid-19
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Ilustrasi. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2020 angkanya minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
PREDIKSI PERTUMBUHAN EKONOMI KUARTAL II NEGATIF
Ilustrasi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua 2020 angkanya minus 5,32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.)

Apakah Pertumbuhan Ekonomi RI Pernah Minus?

Sebelum pandemi terjadi, negara ini pernah mengalami dua kali pertumbuhan ekonomi minus. Yang pertama pada 1963. Penyebabnya adalah hiperinflasi.

Situasi politik luar negeri yang memanas menyeret Indonesia pada kondisi perekonomian yang pelik. Menurut buku Perekonomian dalam Perspektif Waktu yang ditulis oleh Sofyan Saleh, kebijakan politik Indonesia yang konfrontatif pada 1963 membuat pengeluaran pemerintah membengkak. Pengeluaran besar itu yang memicu hiperinflasi.

Presiden Soekarno kala itu membuat gebrakan kebijakan politik. Beberapa kebijakan tersebut ialah konfrontasi dengan Malaysia, pembentukan konsep The New Emerging Forces (Nefo) dan The Old Established Forces, hingga keputusan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Sebenarnya, perekonomian Indonesia tumbuh pesat hingga tercipta surplus transaksi sebesar US$ 25 juta pada 1959. Namun, kondisi kas negara semakin memburuk karena belanja besar-besaran pemerintah berbanding terbalik dengan penerimaannya.

Kas negara semakin susut ketika RI menjadi tuan rumah Asian Games pada 1962. Banyak proyek dibangun, termasuk Hotel Indonesia, kompleks Gelora Senayan, Gedung TVRI, Wisma Warta, Tugu Selamat Datang, Pelebaran Jalan Thamrin-Sudirman, Jembatan Semanggi, Pembangunan Monas, Masjid Istiqlal dan Stadion Gelora Bung Karno (GBK).

Pembangunan proyek raksasa di bawah kepemimpinan Soekarno ini mendapat kritik tajam dari dalam negeri. Pasalnya, negara mengalami defisit anggaran besar-besaran, dari 29,7% pada 1961, kemudian 38,7% pada 1962; 50,8% di 1963; 58,4% 1964; hingga 63,4 di tahun berikutnya. Defisit anggaran terus terjadi dan Indonesia mengalami hiperinflasi hingga 600% pada 1965.

Kebijakan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 1963 untuk menggenjot ekspor pun tidak mampu mengatasi krisis ekonomi. Upaya menurunkan laju inflasi melalui redenominasi dan sanering pun tidak membuahkan hasil. Krisis ini menjadi salah satu penyebab berakhirnya Orde Lama.

Laju inflasi melambat setelah Presiden Soeharto menurunkan tensi politik Tanah Air dengan begabung kembali dengan PBB dan mendapat dana bantuan dari Badan Moneter Internasional atau IMF. Perekonomian dalam negeri tumbuh pesat, imbas kenaikan harga minyak alias oil boom pada 1970 sampai 1980.

Melansir data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada periode itu kontribusi minyak sangat besar ke penerimaan negara. Pada periode 1970 hingga 1975 penerimaan engara naik 619% menjadi Rp 1,7 triliun.

Perekonomian RI mulai menurun pada 1990an. Kondisi memburuk ketika Indonesia terseret krisis finansial Asia pada 1997. Krisis yang bermula dari Thailanda itu memicu penurunan nilai rupiah. Inflasi meroket hingga mencapai 80% pada 1998 dengan pertumbuhan ekonomi minus.

IMF kemudian memberikan dana penyelamatan senilai US$ 43 miliar dengan tenor tiga tahun pada Oktober 1997. Melansir dari Tirto.id, pada 15 Januari 1998, pemerintah RI dan IMF menyepakati kucuran dana yang diiringi paket kebijakan deregulasi, termasuk pencabutan monopoli Bulog, privatisasi, dan penghapusan retribusi.

Pada April hingga minggu pertama Mei 1998, Soeharto dan IMF membuat konsesi mencakup rencana perpanjangan subsidi pangan dan bahan bakar serta melikuidasi bank bermasalah. IMF kembali menggelontorkan pinjaman ke Indonesia, hampir US$ 1 miliar, pada 4 Mei di tahun tersebut.

Sehari setelah itu, seiring kenaikan harga bahan bakar minyak dan sembako serta dana talangan IMF, kerusuhan meletus di Medan. Kerusuhan ini kemudian melebar ke berbagai daerah, termasuk Jakarta. Kondisi politik yang semakin panas membuat Soeharto memutuskan lengser  pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa.

Krisis moneter mengakhiri kekuasaan Orde Baru dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus terkontraksi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 0% di triwulan IV-1997 dan terus memburuk hingga minus 7,9% di triwulan I-1998. Kontraksi terus terjadi di triwulan II yang mencapai minus 16,5% dan minus 17,9% di triwulan III 1998.

Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...