Beda Gaya Bank Sentral Dunia "Cetak Uang" untuk Hadapi Krisis Covid-19

Agustiyanti
30 September 2020, 07:00
pembiayaan, pandemi covid-19, cetak utang, burden sharing
123RF.com/Bakhtiar Zein
Ilustrasi. Bank sentral diberbagai penjuru menggelontorkan dana hingga triliunan dolar AS demiki menyelamatkan ekonomi.

Berbagai upaya tersebut membuat total aset The Fed membengkak lebih dari 68% sejak Maret menjadi lebih dari US$ 7 triliun atau setara Rp 104.300 triliun.

Bank Jepang dan Bank Sentral Eropa juga melakukan stimulus besar-besaran untuk membantu ekonomi mereka. ECB misalnya, menjalankan program pembelian obligasi krisis senilai lebih dari 1,3 triliun euro atau setara Rp 22.623 triliun.

Adapun BoJ telah berjanji untuk membeli obligasi korporasi dalam jumlah tak terbatas untuk menjaga suku bunga pinjaman tetap rendah.

 Aset BoJ dan ECB telah tumbuh masing-masing menjadi 690 triliun yen atau setara Rp 72.450 triliun dan 6,5 triliun euro atau Rp 48.100 triliun. Namun, total aset tersebut hanya mereprsentasikan kenaikan sebesar 17,8% untuk Bank Sentral Jepang dan 38,7% untuk Bank Sentral Eropa sejak Maret.

Ekonomi AS, Jepang, dan Eropa termasuk yang paling terpukul oleh pandemi Covid-19. Kontraksi ekonomi yang dialami dua negara dan satu zona ekonomi ini mencapai dua digit pada kuartal II 2020. Sementara OECD memproyeksi ekonomi global akan mengalami resesi meski tak sedalam dugaan sebelumnya. 

Tanggapan berbeda dilakukan Tiongkok. Stimulus diberikan People Bank of China dengan memangkas suku bunga pinjaman satu tahun menjadi 3,85% dari 4,15% pada 2019. Aset PBoC tak banyak berubah sejak Maret. Kondisi ekonomi Negara Tembok Raksasa ini jauh lebih baik, bahkan diproyeksi masih akan tumbuh 2% pada tahun ini oleh Bank Dunia. 

Oxford Business Group menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang terbilang berani melakukan monetisasi utang di antara negara emerging market lainnya. Langkah serupa juga sebenarnya diterapkan oleh beberapa bank sentral di Kawasan Asia Pasifik, tetapi secara lebih terkendali.

Bank Sentral Filipina sebenarnya memutuskan untuk membiayai defisit anggaran pemerintah lebih awal dibandingkan BI. Dikutip dari Nikkei, Bangko Ng Phlipines pada Maret telah membeli surat utang pemerintah melalui pasar primer sebesar 300 miliar peso atau setara Rp 32,1 triliun dalam bentuk repo dengan jangka waktu tiga bulan dan dapat diperpanjang.

Pembelian obligasi pemerintah oleh Bangko Ng Phlipines mencapai 800 miliar peso atau Rp 86,6 triliun, setara 45% pinjaman dalam negeri pemerintah hingga Juli. Sekitar 500 miliar peso dibeli di pasar sekunder. Namun, Bank Sentral Filipina baru-baru ini mengumumkan siap memberikan pembiyaan lebih kepada pemerintah.

Reserve Bank of India juga memiliki kebijakan untuk membeli surat utang pemerintah di pasar perdana hingga mencapai 0,5% dari defisit anggaran.

Pembiayaan bank sentral untuk menutup defisit anggaran sebenarnya dilakukan oleh Myanmar. Dikutip dari media lokal The Irrawaddy, pemerintah Myanmar meminjam 1,3 triliun kyat atau setara Rp 13,7 triliun dari bank sentral untuk menutup sebagian defisit anggaran 2019 dan 2020 yang mencapai 6,6 triliun kyat.

Namun pinjaman bank sentral kepada pemerintah untuk menutup defisit bukan hal baru di negara ini. Hampir setiap tahun defisit anggaran Myanmar ditutup oleh pinjaman dari bank sentral.

Lembaga pemeringkat utang global, S&P sempat mengingatkan langkah pembiayaan utang pemerintah oleh bank sentral yang dilakukan Indonesia, India, dan Filipina dapat mempertaruhkan reputasi otoritas moneter. Meski saat ini belum ada indikasi hilangnya kepercayaan investor pada ketiga bank sentral tersebut, S&P menilai risiko akan meningkat jika monetisasi utang tetap dilakukan bank sentral usai pandemi berakhir.

"Jika investor mulai melihat ketergantungan pemerintah pada pendanaan bank sentral sebagai fitur struktural ekonomi jangka panjang, otoritas moneter dapat kehilangan kredibilitas," kata S&P, seperti dikutip dari Reuters.

Peringatan serupa juga diberikan Bank Dunia dalam laporan terbaru untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik edisi Oktober 2020. Menurut Bank Dunia, pembiayaan utang oleh bank sentral yang dilakukan sejumlah negara  di Asia Timur, termasuk Indonesia, dapat menganggu independensi dan pengendalian inflasi.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...