Ruang Besar Penurunan Bunga BI di Tengah Gerak Perkasa Rupiah

Agustiyanti
18 November 2020, 16:24
bi, suku bunga acuan, rupiah, nilai tukar rupiah, inflasi
123RF.com/normaals
Ilustrasi. BI telah mempertahankan suku bunga acuan sejak Juli, setelah memangkas bunga secara bertahap hingga 2% sejak awal tahun.

Sejumlah data perekonomian pada awal Oktober 2020 juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam pemulihan ekonomi. Indeks Keyakinan Konsumen pada Oktober turun menjadi 79, dari bulan sebelumnya sebesar 83,4, menandakan konsumen  makin pesimistis terhadap kondisi ekonomi.

Penjualan ritel pada bulan lalu juga diperkirakan masih terkontraksi sebesar 8,7%, tetapi lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 10%. Angka PMI manufatur sedikit membaik dari 47,2 pada September menjadi 47,8. Namun, angka PMI tersebut masih masuk dalam fase kontraksi. 

Di sisi lain, impor yang sempat membaik pada September, kembali anjlok pada bulan lalu. BPS mencatat impor pada bulan lalu turun 6,79% menjadi US$ 10,78 miliar. Penuruan impor terutama terjadi pada barang modal mencapai 13,3% yang mengindikasikan kemungkinan pengusaha menahan diri dalam melakukan ekspansi. 

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah juga memproyeksi ekonomi pada kuartal keempat masih akan terkontraksi secara tahunan meski membaik dibandikan kuartal ketiga. Adapun BI memiliki ruang besar untuk menurunkan suku bunga lantaran inflasi yang rendah dan kurs rupiah yang stabil. Namun, ia memperkirakan BI akan menunda penurunan bunga hingga tahun depan. 

"BI perlu memberikan waktu kepada perbankan untuk merespons terlebih dahulu suku bunga acuan yang sudah turun sepanjang tahn ini," katanya. 

Menurut Piter, transmisi suku bunga acuan ke kredit memang tidak cukup efektif. Ini disebabkan oleh karateristik perbankan di Tanah Air yang juga sangat dipengaruhi oleh sitem kebijakan moneter. Setiap kali BI memangkas suku bunga, transmisinya ke bunga kredit berjalan lambat. 

BI sepanjang tahuun ini telah memangkas suku bunga acuan sebesar 2%, seperti tergambar dalam databoks di bawah ini. Namun berdasarkan data uang beredar BI, rata-rata bunga kredit hingga September 2020 mencapai 9,85%, hanya turun 0,65% dibandingkan akhir 2019 yang mencapai 10,5%.

Gubernur BI Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan ruang penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) masih terbuka di pengujung tahun ini. Pertimbangan utama BI menahan suku bunga sebelumnya adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah karena ketidakpastian global dan domestik, meski inflasi tercatat rendah dan pertumbuhan ekonomi perlu didorong.

"Kami melihat masih ada ruang penurunan bunga dan kami akan melihat perkembangannya," ujar Perry dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan IV 2020, Selasa (27/10).

Perry memperkirakan rupiah masih berpotensi menguat di pengujung tahun didukung rendahnya inflasi. Selain itu, penguatan rupiah juga ditopang oleh neraca pembayaran yang terus mengalami surplus, tren penurunan suku bunga perbankan, serta likuiditas perbankan yang berlebih. 

Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menjelaskan, investor asing kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia seiring sentimen positif hasil pilpres AS yang memenangkan Joe Biden. Kebijakan Biden dinilai para investor lebih mampu diprediksi dan tidak provokatif ke negara lain, termasuk ke Tiongkok.

"Kemenangan Biden diharapkan mengurangi tensi perang dagang AS-China. Sejak 2018, perang dagang terus menciptakan "ketidakpastian yang luar biasa" sehingga terus menimbulkan tekanan bagi mata uang negara-negara emerging market, termasuk Indonesia," ujar Nanang kepada Katadata.co.id, Senin (9/11).

Menurut Nanang, investor mulai kembali memburu Surat Berharga Negara. Pasokan valas di dalam negeri yang meningkat seiring masuknya aliran modal asing dan membuat rupiah menguat hingga di bawah Rp 14.100 per dolar AS. Namun, Nanang menilai rupiah masih berada di bawah nilai fundamentalnya atau undervalue dan masih berpotensi menguat. 

"BI melihat ruang bagi rupiah untuk menguat masih lebar karena belum sejalan dengan level fundamentalnya. Secara riil, rupiah masih terlalu murah," katanya.

Rupiah yang masih terlalu murah tercemin dari neraca perdagangan Indonesia yang surplus dalam beberapa bulan terakhir seiring kenaikan ekspor di tengah impor yang masih lemah. Secara keseluruhan, neraca transaksi berjalan pada kuartal III 2020 juga akan mencatatkan surplus setelah defisit mencapai US$ 2,9 miliar pada kuartal II 2020.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...