Isu Tapering Off Hingga Evergrande Memicu Modal Asing Kabur Rp 6 T

Abdul Azis Said
24 September 2021, 17:17
modal asing, aliran modal asing, dolar as, nilai tukar
Arief Kamaludin|KATADATA
Ilustrasi. Rupiah bergerak melemah 0,25% dalam sepekan dari posisi penutupan pekan lalu Rp 14.223 per dolar AS.

Bank Sentral Tiongkok (PBOC) pekan ini menyetujui suntikan dana likuiditas ke perbankan senilai US$ 17 miliar atau setara Rp 242 triliun di tengah meningkatnya kekhawatiran pasar atas efek dari krisis Evergrande. Injeksi tersebut tercatat sebagai yang terbesar sejak awal tahun ini.

Operasi pasar yang dilakukan PBOC ini kemudian mendorong penurunan suku bunga antar bank jangka pendek, suku bunga repo turun 14 basis poin menjadi 2,01%, sedangkan suku bunga tujuh hari melandai untuk hari ketiga berturut-turut. Imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun juga menurun satu basis poin menjadi 2,85%.

Krisis Evergrande bukan satu-satunya sentimen yang mendorong risk-off di aset berisiko. Pemerintah AS kini tengah menghadapi ancaman risiko gagal bayar utang dan penutupan pemerintah atau government shutdown akibat kekurangan anggaran. Ini lantaran pemerintah AS tak bisa lagi menarik utang hingga dilakukannya penangguhan batas utang. 

Berdasarkan data Statista per Agustus 2021, utang Amerika Serikat mencapai US$ 28,4 triliun atau setara Rp 404 kuadriliun. Utang ini telah mencapai batas maksimumnya sehingga pemerintah AS meminta dilakukan penangguhan batas utang yang memerlukan persetujuan konres dan senat. 

Kondisi tersebut kemudian memicu panasnya persaingan politik antara partai Demokrat pendukung pemerintah dan partai Republik selaku oposisi dalam pembahasan RUU penangguhan plafon utang. Pemerintah melalui beleid baru itu mengajukan penangguhan batas utang hingga Desember, namun ditolak oleh partai Republik.

Partai Demokrat awal pekan ini berhasil meloloskan usulan ini dalam pemungutan suara di DPR. Namun, pembahasannya masih perlu mendapat restu dari Senat. Ini artinya partai Republik masih berpeluang menjegal RUU tersebut gagal diloloskan. Sementara Partai Demokrat hanya punya waktu kurang dari sepekan untuk meloloskan RUU tersebut sebelum tahun fiskal berakhir 30 September mendatang.

Konsekuensi jika RUU ini gagal lolos yakni pemerintahan Biden bersiap untuk Shutdown alias berhenti beroperasi untuk sementara waktu. Mengutip CNBC, Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih mulai mengumumkan persiapan untuk memulai shutdown pekan depan, mengingat tenggat waktu senat untuk menyetujui penangguhan batas utang kurang dari seminggu lagi.

Selain gejolak di tubuh pemerintahan, pasar juga mulai mewaspadai exit policy yang akan dilakukan bank sentral AS (The Fed) akhir tahun ini. The Fed membeli obligasi pemerintah senilai US$ 120 miliar setiap bulan dan berencana menguranginya dalam waktu dekat. Kendati demikian, Gubernur The Fed Jerome Powell dalam pernyataannya pekan ini belum memberi keterangan yang jelas kapan rencana itu akan dimulai. Pasar mengantisipasi Powell akan mengumumkannya dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal bulan November.

Powell menegaskan bahwa pengurangan pembelian aset akan segera dimulai dan kemungkinan berakhir pertengahan tahun depan. Mayoritas anggota rapat FOMC juga mulai melihat inflasi akan bertahan tinggi hingga akhir tahun dan di atas ekspektasi 2%. Kondisi ini yang tampaknya mendorong mayoritas dari mereka juga mulai mempertimbangkan kenaikan suku bunga dilakukan tahun 2022 setelah sebelumnya The Fed berencana melakukannya pada tahun 2023.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...