Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi Rp 502,4 T, Ini Rinciannya
Rincian alokasi subsidi dan kompensasi energi APBN 2022
Keterangan | Pagu awalAPBN 2022 | APBN-P 2022 | |
Tambahan | Hasil Final | ||
Asumsi ICP | US$ 63/barel | - | US$ 100/barel |
Subsidi Energi | Rp 134 triliun | Rp 74,9 triliun | Rp 208,9 triliun |
Kompensasi Energi | Rp 18,9 triliun | Rp 216,1 triliun | Rp 293,5 triliun |
Kurang bayar kompensasi tahun lalu- carry over kompensasi tahun depan | - | Rp 108,4 triliun- Rp 49,5 triliun | |
Total | Rp 152,5 triliun | Rp 502,4 triliun |
Menteri Keuangan Sri Mulyani pekan lalu menyampaikan kekhawatirannya anggaran tersebut tidak akan cukup lagi. Penyebabnya, kuota BBM bersubsidi Pertalite yang semakin menipis, hanya tersisa 6,2 juta kiloliter pada JUli, dari total kuota 2022 sebanyak 23 juta KL. Menipisnya kuota karena beralihnya konsumen Pertamax ke Pertalite sejak Pertamax mengalami kenaikan sejak April.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga khawatir bila pemerintah menambal terus kuota BBM bersubsidi. "Apakah terus menerus APBN akan kuat (menanggung subsidi dan kompensasi energi)? ini nanti akan dihitung oleh menteri keuangan," kata Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022, Kamis (18/8).
Kekhawatiran soal anggaran yang tidak cukup ini seiring kuota BBM bersubsidi khususnya pertalite yang menipis. Ekonom INDEF Abra Talattov sebelumnya menyarankan agar pemerintah menambah anggaran alih-alih menaikkan harga energi karena minimnya kuota.
Abra menyebut pemerintah bisa menambah kuota namun hanya untuk Pertalite. Dia menghitung, jika kuota pertalite ditambah menjadi 29 juta kilo liter dari yang disediakan 23,1 juta, maka butuh tambahan anggaran sekitar Rp 100 triliun lagi. Ini berarti anggaran subsidi naik lagi menjadi sekitar Rp 600 triliun.
"Kapasitas dan ruang fiskal kita kalau memang terpaksa menambah kuota itu masih ada, kita lihat kinerja APBN masih surplus sementara belanja juga masih belum signifikan," kata Abra dihubungi Senin (15/8).
Kalaupun akan menambah anggaran, pemerintah harus kembali ke Banggar DPR RI untuk meminta restu. Namun, Ketua Banggar saat ditemui terpisah beberapa hari lalu justru menyarankan kenaikan harga.