Pajak Hiburan Naik hingga 75%, Ini Dampaknya ke Pengusaha dan Konsumen
Pemerintah menetapkan pajak hiburan sebesar 40% hingga 75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Namun penetapan pajak ini dinilai terlalu tinggi. Sehingga pemerintah menjanjikan dua insentif yaitu PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah) dan insentif fiskal yang diberikan Kepala Daerah kepada pengusaha yang mengajukan keringan pajak.
Walau dijanjikan insentif, namun para pengusaha hiburan tetap terbebani pajak yang tinggi. Bahkan diperkirakan sebagian pelaku usaha lebih memilih menutup usahanya ketimbang menanggung beban pajak yang besar.
"Jadi banyak yang akan tidak bayar pajak, terutama usaha mikro," kata Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman kepada Katadata.co.id, Selasa (23/1).
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan banyak outlet atau tempat hiburan menjadi sepi hingga akhirnya tutup. Sebab, konsumen harus menanggung biaya hiburan yang lebih mahal dibandingkan sebelum pajak ini ditetapkan.
Maka itu, Raden menyarankan, agar pemerintah menurunkan tarif pajak hiburan sehingga penerimaan pajak daerah juga menjadi lebih efektif.
“Pengalaman saya sebagai pensiunan PNS DJP, penurunan tarif menjadi memicu wajib pajak bahagia, sehingga ujungnya malah dalam pelaporan pajaknya, wajib pajak bisa menaikan omzetnya,” ujarnya.
Optimalkan Obyek Pajak Lain
Sementara itu, Pengamat perpajakan Prianto Budi Saptono punya pandangan berbeda. Menurutnya, penerimaan pajak secara umum akan tergantung pada postur pos penerimaan APBD di masing-masing kota dan kabupaten.
“Di dalam konteks ini, pemerintah daerah seperti bupati/walikota dan DPRD dapat bermusyawarah untuk mencari substitusi penerimaan pajak dari sektor pajak jasa hiburan tertentu,” ujar Priyanto.