Prabowo - Gibran Menang Pilpres, Berderet Tantangan Ekonomi Menanti
Dalam tiga tahun kepemimpinan Prabowo, Bhima memperkirakan, ekonomi Indonesia tidak akan menikmati keuntungan dari harga komoditas. Harga minyak naik, sedangkan harga batu bara dan sawit belum naik. Kondisi ini menciptakan situasi makin kompleks karena dua komoditas tersebut merupakan unggulan ekspor RI.
"Suku bunga pun belum pasti kapan turun. Ini berimbas ke aliran pendanaan investasi langsung dan pasar keuangan," kata Bhima.
Di sisi lain inflasi pangan menjadi ancaman yang cukup serius. Daya beli kelompok menengah ke bawah sangat terdampak. Pemerintah harus bersiap menggeser berbagai anggaran untuk membantu petani dan menjaga daya beli masyarakat.
Apalagi ketika bantuan sosial alias bansos mulai berkurang. "Angka kemiskinan dalam lima tahun ke depan bisa naik," ujarnya.
Defisit APBN Berpotensi Melebar
Ronny memperkirakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada pemerintahan Prabowo akan melebar. Artinya, utang pemerintah berpeluang bertambah besar.
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp 8.253,09 triliun hingga akhir Januari 2024. Angka ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Dalam pandangannya, kerangka anggaran Prabowo tak akan banyak berbeda dengan era Jokowi, yaitu pro-defisit anggaran. Kebijakan ini membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan.
Tujuannya untuk memberi stimulus pada perekonomian dan sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif. “Artinya, Prabowo pun akan menjadikan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan kebijakan-kebijakannya,” kata Ronny.
Platform pro-budget deficit tersebut sangat disukai investor asing, terutama yang menanamkan modalnya di surat utang negara. “Dan itu akan baik untuk rupiah, karena akan membawa banyak dolar AS ke dalam negeri dalam bentuk imvestasi portofolia dan finansial,” ujarnya.