Konflik Israel - Iran Bisa Perparah Inflasi dan Pelemahan Rupiah
Sejumlah ekonom memperkirakan, konflik Israel - Iran akan berdampak terhadap kinerja ekonomi pada tahun ini, terutama berisiko mendorong lonjakan inflasi hingga pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai risiko lonjakan inflasi akibat konflik Iran - Israel.
“Yang perlu diperhatikan adalah dari sisi inflasi. Kita tahu saat konflik pecah, arus barang terganggu, suplai terganggu, maka biasanya harga-harga akan naik,” kata Riekfy dikutip dari Antara, Selasa (16/4).
Dia merinci harga barang dan pangan kemungkinan besar akan meningkat. Selain itu, imported inflation atau inflasi yang berasal dari luar negeri juga berpotensi terjadi. “Ini yang perlu kita waspadai, di samping inflasi yang selama ini sudah terjadi di dalam negeri,” kata dia.
Senada, ekonom sekaligus mantan Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019 -2021 Bambang Brodjonegoro juga menyebut serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4) malam juga dapat meningkatkan laju inflasi.
Selain itu, Bambang memprediksi adanya lonjakan inflasi yang dipengaruhi oleh tiga faktor utama baik dari internal maupun eksternal. Pertama, karena tingginya inflasi harga pangan bergejolak (volatile food) yang masih menjadi faktor utama terhadap inflasi Indonesia.
Kedua, inflasi pada harga barang yang diatur pemerintah seperti bahan bakar minyak (BBM) serta liquefied petroleum gas (LPG). Ketiga, inflasi yang berasal dari luar negeri yang disebabkan kenaikan harga-harga di luar negeri, pelemahan rupiah serta gangguan distribusi global.
The Fed Masih Akan Tahan Suku Bunga Acuan
Bambang memperkirakan, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed belum akan menurunkan suku bunga pada pertengahan tahun ini, karena tingkat inflasi di AS masih di atas target.
Pasca serangan Iran ke Israel, Bambang memprediksi The Fed akan mempertahankan suku bunga acuan lebih lama lagi. "Intinya secara eksternal memang kita akan menghadapi tantangan yang serius, dan ini yang bisa membuat rupiah menjadi tertekan," katanya.
Untuk itu, Bambang meminta Bank Indonesia (BI) agar segera mengantisipasi dampak suku bunga The Fed dan konflik Iran - Israel, demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, dia menilai keputusan untuk menaikkan suku bunga BI bukan merupakan langkah yang tepat, mengingat kondisi dolar AS saat ini yang menguat terhadap hampir semua mata uang negara lainnya.
BI Diminta untuk Segera Intervensi Pasar Keuangan
Ekonom dari Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan bauran kebijakan perlu dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari konflik Iran dan Israel terhadap nilai tukar rupiah.
"Goncangan di pasar keuangan yang sudah terlihat dari meningkatnya indikator volatilitas dan pelemahan rupiah akan diantisipasi dengan bauran kebijakan intervensi di pasar uang dan menjaga likuiditas valas," kata Reny.
Saat ini, pelaku pasar masih menunggu dan mencermati untuk melihat ada tidaknya dampak langsung dari konflik Iran dan Israel terhadap perekonomian Indonesia. Konflik tersebut tentu menambah volatilitas di global.
Menurut Reny, bauran kebijakan Bank Indonesia perlu diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan terutama di tengah risiko ketidakpastian global.
"Penguatan bauran kebijakan tersebut dilakukan antara lain melalui langkah triple intervention di pasar spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pasar obligasi," kata dia.
Kemudian, BI bisa menarik dana asing melalui instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), serta kebijakan suku bunga acuan yang masih dipertahankan pada level yang tinggi.