Prabowo Diprediksi Sulit Lunasi Utang Jatuh Tempo Warisan Jokowi Rp 800 Triliun
Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti utang jatuh tempo pada dua sampai tiga tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto mencapai Rp 700 triliun hingga Rp 800 triliun.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mempermasalahkan utang jatuh tempo tersebut berbentuk surat berharga negara (SBN).
“Masalahnya dari utang jatuh tempo ini adalah sebagian besar utang itu berbentuk SBN atau sertifikat berharga negara,” kata Bhima dalam diskusi Celios, Kamis (12/9).
Menurut Bhima, mengatasi pembayaran surat utang tersebut adalah yang paling sulit. Hal itu dikarenakan pemerintah akan kesulitan melakukan renegosiasi utang karena jumlah kreditur atau pembeli SBN bervariasi.
Hal ini mulai dari lembaga keuangan, rumah tangga, bank, hingga lembaga keuangan. “Belum lagi pemain-pemain investasi dari asing yang tersebar di banyak sekali negara,” ujar Bhima.
Sementara yang lebih mudah untuk dilakukan renegosiasi adalah pinjaman pemerintah, namun jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan porsi SBN. Kondisi tersebut akan membuat beban fiskal yang diwarisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo menjadi lebih berat.
Reformasi Secara Menyeluruh
Peneliti Kebijakan Publik dan Ekonomi Celios Achmad Hanif mendorong reformasi secara menyeluruh untuk memastikan keberlanjutan fiskal pada masa depan.
“Perubahan mendasar dalam alokasi anggaran dan pengelolaan prioritas anggaran sangat penting agar Indonesia dapat keluar dari himpitan fiskal dengan lebih baik,” kata Hanif.
Berdasarkan laporan Celios terbaru berjudul 10 Lubang Fiskal Warisan Joko Widodo, terungkap bahwa pembiayaan utang Indonesia meroket 203,39% dari Rp 255,73 triliun pada 2014 menjadi Rp 775,87 triliun pada 2024.
Sementara itu, peningkatan rasio utang sejak 2014 hingga 2023 mencapai 58,42%. Diikuti peningkatan rasio utang tertinggi terjadi hanya dalam satu tahun dari 2019 hingga 2020 saat pandemi sebesar 30,46%.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, batas maksimal rasio utang terhadap produk domestik bruto atau PDB adalah 60%. Namun pemerintah berdalih kondisi utang pemerintah masih aman.
“Pemerintah menjadikan selisih ini sebagai alasan untuk mengklaim perekonomian dan utang negara masih aman,” ujar Askar.