Tarif Impor AS Berpotensi Ganggu Neraca Dagang Indonesia

Nur Hana Putri Nabila
3 April 2025, 11:07
Tarif impor
ANTARA FOTO/Fauzan/foc.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia pada November 2024 senilai 4,42 miliar dolar AS atau lebih tinggi 2,01 miliar dolar AS dibandingkan November 2023 sekaligus mempertahankan tren surplus sejak Mei 2020.

Ringkasan

  • Tarif impor AS sebesar 32% terhadap produk Indonesia berpotensi mengganggu surplus perdagangan dan menekan perekonomian Indonesia. Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara dengan tarif tertinggi setelah Vietnam, Thailand, dan Kamboja.
  • Kebijakan tarif AS ini dapat memicu pergeseran arah perdagangan global, mengurangi ketergantungan pada Cina dan mendorong pembentukan blok perdagangan baru. Negara-negara terdampak, termasuk Indonesia, mungkin akan memprioritaskan produksi dalam negeri dan kerja sama regional.
  • Perekonomian Indonesia rentan terhadap kebijakan tarif AS karena ketergantungan pada FDI dan ekspor, kondisi ini diperparah dengan tekanan ekonomi yang sudah ada. *Gross outputIndonesia yang sedang tertekan menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pengenaan tarif impor kepada produk asal Indonesia oleh Amerika Serikat sebesar 32% berpotensi menekan arus perdagangan kedua negara dan menekan perekonomian Indonesia.

Head of Research NH Korindo Sekuritas, Ezaridho Ibnutama, mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara di Asia Tenggara dengan tarif tertinggi setelah Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Ia menyebut perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat cukup konsisten dalam dua tahun terakhir. Pada Februari 2025, surplus perdagangan Indonesia tercatat sebesar US$3,12 miliar, didorong oleh penurunan impor domestik akibat meningkatnya tekanan sosial ekonomi.  

Namun, ia menyayangkan bahwa kebijakan tarif baru yang diterapkan Presiden AS Donald Trump berpotensi mengganggu surplus perdagangan Indonesia. Sebagai eksportir terbesar kedua bagi Tanah Air, ia mengakui langkah AS dapat menyebabkan penurunan nilai ekspor dalam beberapa bulan ke depan jika tidak ada kesepakatan bilateral antara kedua negara.  

Selain itu, negara mitra dagang lain diperkirakan tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran AS. Cina, misalnya, ia menilai tidak berada dalam kondisi ekonomi yang memungkinkan ekspansi manufaktur secara cepat sebab berisiko memicu gelembung investasi di sektor industrinya.

“Vietnam dan India juga tidak dapat diandalkan karena keduanya bergantung pada konsumsi AS untuk tumbuh dan keduanya terkena tarif yang lebih tinggi daripada Indonesia,” kata Ezaridho dalam risetnya, Kamis (3/4).

Menurut riset NH Korindo Sekuritas, kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan AS menjadi langkah awal dalam pergeseran arah perdagangan global. Langkah ini diperkirakan akan mengalihkan fokus dari Cina sebagai pusat manufaktur dan perdagangan ke Amerika Serikat.  

Namun, Ezaridho menilai kebijakan ini juga berpotensi mendorong negara-negara yang terdampak untuk menjalin kerja sama dan membentuk blok perdagangan bebas. Salah satu contohnya adalah perjanjian perdagangan trilateral antara Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.  

Sejalan dengan itu, Ezaridho juga menilai pembatasan pasar AS dapat mendorong negara-negara lain untuk memprioritaskan produksi di dalam negeri serta meningkatkan kerja sama dengan negara tetangga, ketimbang mengandalkan perdagangan dengan pasar internasional yang lebih jauh.

“Ini adalah aspek kunci dari kebijakan internasional Trump untuk membatalkan globalisme dan mempromosikan ekonomi lokal,” ucap Ezaridho. 

Lebih lanjut, Ezaridho memproyeksikan kebijakan tarif ini dapat semakin menekan perekonomian Indonesia. Hal itu lantaran sebagian besar Produk Domestik Bruto (PDB) masih bergantung pada investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) dan pasar ekspor. Ia mengakui dampak ini menjadi semakin signifikan di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sudah tertekan.


Ia juga menyoroti kontribusi utama PDB Indonesia berasal dari pengeluaran rumah tangga, yang dapat memberikan gambaran kurang akurat terhadap kondisi ekonomi secara keseluruhan. Sebagai alternatif, gross output, yang mencerminkan transaksi bisnis ke bisnis (B2B) serta produksi barang awal dan perantara, dinilai lebih relevan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi. Saat ini, ia menilai gross output Indonesia yang masih tertekan mencerminkan laju pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat.

 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nur Hana Putri Nabila

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...