Produsen Batu Bara Diminta Pakai Teknologi Bersih Usai Perpanjang Izin
Kementerian ESDM mendorong agar perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang habis kontrak dapat mengimplementasikan penggunaan teknologi bersih setelah mendapat perpanjangan operasi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk menekan emisi karbon.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Sujatmiko mengatakan pemberian perpanjangan utamanya ditujukan untuk peningkatan nilai tambah di dalam negeri melalui hilirisasi.
Namun agar sejalan dengan target net zero emission atau nol emisi karbon yang ditargetkan pada 2060 atau lebih cepat, maka para pelaku usaha di sektor batu bara haru mampu menghadirkan teknologi yang bersih dalam menekan emisi karbon dioksida dalam setiap operasinya.
"Bila dikatakan batu bara dikonversi menjadi gas. Agar sejalan dengan net zero emission, di dalam menerapkan konversi batu bara ini penerapannya harus gunakan clean coal technology," kata dia dalam Webinar Masa Depan Industri Batu bara Menuju Transisi Energi, Selasa (14/12).
Menurut dia pengurangan emisi CO2 menjadi suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon yang dapat dimanfaatkan juga untuk proses EOR industri migas.
"Artinya kewajiban peningkatan nilai tambah harus sejalan dengan perlindungan lingkungan yang menjadi suatu skema industri yang komplit," ujarnya.
Setidaknya terdapat lima PKP2B yang akan habis masa kontraknya. Adapun yang paling dekat yakni PT Kaltim Prima Coal, akan berakhir pada 31 Desember 2021. Kemudian, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Seperti diketahui, pemerintah saat ini terus menggenjot hilirisasi batu bara melalui proyek dimethyl ether (DME) dan pengolahan batu bara menjadi metanol (coal to methanol). Ini menjadi syarat bagi perusahaan untuk mendapat perpanjangan izin operasi.
Namun rencana pemerintah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi DME dinilai akan sulit. Sebab, proyek untuk mengembangkan produk calon pengganti liquefied petroleum gas (LPG) ini masih belum ekonomis untuk diimplementasikan.
Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan dukungannya terhadap proyek gasifikasi batu bara menjadi DME yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencapai target net zero emission. Namun Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan proyek ini tak mudah untuk direalisasikan.
"Terutama karena faktor keekonomiannya, mengingat investasi yang dibutuhkan berskala besar dan jangka panjang," ujarnya kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Menurut dia ada beberapa faktor yang mempengaruhi keekonomian proyek DME, salah satunya teknologi yang saat ini belum dimiliki Indonesia. Hal ini akan berdampak pada harga jualnya yang mahal.
Kemudian dari segi pengapian dan efisiensi, gasifikasi batu bara menjadi DME ini sekitar 70% menggunakan LPG. Sedangkan saat ini harga jual LPG masih dipatok oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum. Sehingga jika skenario harga jualnya masih tetap seperti ini, dikhawatirkan keekonomian untuk investasinya jadi lebih berat.