Keputusan Sanksi Energi Rusia Berpotensi Picu Perpecahan di Uni Eropa
Uni Eropa (UE) berencana untuk meningkatkan sanksi terhadap sektor energi Rusia. Hal ini menyusul masih berlangsungnya konflik Rusia dan Ukraina. Adapun sanksi yang diberikan UE mencakup pelarangan impor komoditas energi Rusia seperti batu bara, minyak, dan gas.
Akan tetapi, sejumlah negara anggota UE seperti Jerman, Hungaria, dan Austria enggan melakukan hal tersebut karena pasokan energi dalam negeri mereka yang masih bergantung pada suplai energi Kremlin.
“Kami harus memberikan lebih banyak tekanan pada Putin dan kami harus mengisolasi Rusia. Kami harus memutuskan semua hubungan ekonomi dengan Rusia, tetapi saat ini tidak mungkin untuk memotong pasokan gas,” ujar Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner pada Senin (5/4), dikutip dari CNBC.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyebut UE perlu melakukan kalkulasi sebelum menjatuhkan sanksi sektor energi terhadap Rusia. Jika nantinya UE melakukan embargo energi Rusia, kondisi perekonomian sejumlah negara anggota akan memburuk karena terputusnya suplai energi.
“Sumber energi itu merupakan perkara vital yang tidak bisa dialihkan dalam waktu cepat. Berbeda dengan Amerika yang ketergantungannya lebih kecil. Sehingga mereka akan lebih mudah untuk melakukan embargo. Tapi Uni Eropa secara realistis itu sulit dilakukan oleh mereka,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (6/4).
Senada dengan Faisal, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan embargo pasokan energi Rusia yang akan dilakukan oleh UE akan berdampak pada melonjaknya harga energi, terutama untuk biaya pemanas rumah saat musim dingin tiba.
“Sekira 40% pasokan gas UE disuplai oleh Rusia, belum lagi minyak. Saya kira langkah akan memberatkan warga Uni Eropa sendiri dan sekarang pun memang sudah terjadi,” kata Mamit.
Lebih lanjut, kata Mamit, keputusan yang direncanakan oleh UE lebih mengedepankan gensi daripada memikirkan dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari. Jika keputusan ini dijalankan, ujar Mamit, persoalan ini dinilai dapat memecah belah UE.
“Potensi (pecah belah suara) itu ada, karena kalau sudah bicara kepentingan negara itukan ada independensi. Terutama bagi negara yang masih membutuhkan suplai energi dari Rusia. Ini kan sudah bicara gengsi, sudah tidak bicara lagi tentang dampak,” ucapnya.
Uni Eropa kemarin mengusulkan pelarangan batu bara Rusia sebagai bagian dari sanksi terhadap Kremlin atas konflik di Ukraina. Presiden UE, Ursula von der Leyen, mengatakan UE akan memberlakukan larangan impor batu bara daru Rusia senilai € 4 miliar atau Rp 62,6 triliun per tahun. “Ini akan memotong sumber pendapatan penting lainnya bagi Rusia,” von der layen, dikutip dari CNBC.
Di sini lain, penerapan sanksi pada sektor energi Kremlin telah menjadi tantangan bagi UE mengingat tingginya tingkat ketergantungan yang dimiliki beberapa negara anggota pada sumber daya Rusia. Menurut data dari kantor statistik Eropa, pada tahun 2020 UE mengimpor 19,3% batu bara dari Rusia 36,5% minyak, dan 41,1% gas alam.
Von der layen, UE perlu meningkatkan tekanan lebih jauh terhadap Rusia. Adapun serangkaian tindakan baru akan dibahas oleh para duta besar Eropa pada hari Rabu. Serangkaian sanksi baru juga mencakup larangan transaksi terhadap empat bank penting Rusia, satu diantaranya adalah VTB.
Kemudian larangan kapal-kapal Rusia dan kapal-kapal yang dioperasikan Rusia untuk mengakses pelabuhan-pelabuhan di UE, dan larangan ekspor yang ditargetkan senilai € 10 miliar yang melibatkan komputer kuantum dan semikonduktor canggih.