Harga BBM Dinilai Sulit Turun Walau Harga Minyak Melandai
Sejumlah kalangan menilai harga minyak mentah global yang tengah melandai saat ini tak serta merta menjadi faktor untuk menurunkan harga BBM di dalam negeri. Hal ini disebabkan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS.
Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009, Ari Hernanto Soemarno, faktor utama dari penentuan harga BBM terletak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Selain itu, harga minyak hingga akhir tahun masih cenderung fluktatif.
"Harga minyak akan terus tertekan turun ke level di bawah US$ 90 per barel. Namun dari segi dalam negeri, ada permasalahan nilai tukar," kata Ari dalam Energy Corner CNBC pada Senin (24/10).
Dia menambahkan jika kebijakan untuk menurunkan harga BBM bersamaan dengan turunnya harga minyak saat ini dinilai sebagai langkah yang terburu-buru.
Adapun harga minyak mentah terus mengalami penurunan. Minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Senin (24/10) turun menjadi US$ 84,63 per barel dari harga akhir pekan, Jumat (21/10), di level US$ 85,05. Sedangkan Brent turun tipis menjadi US$ 93,08 dari harga US$ 93,50 per barel pada harga penutupan pekan lalu.
Ari menjelaskan harga minyak mentah akan terus berfluktuasi seiring belum meredanya konflik antara Rusia dan Ukraina. Dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah, hasil yang didapat dari penurunan harga minyak hanya bisa digunakan untuk mengurangi biaya kompensasi BBM ke Pertamina ketimbang menurunkan harga jual BBM.
Kondisi harga minyak pernah mengalami tren penurunan akibat merosotnya permintaan bahan bakar di Cina imbas kebijakan lockdown atau penguncian wilayah Covid-19 dan dan kekhawatiran pelemahan ekonomi global yang dapat mengurangi permintaan.
Namun sayangnya, ujar Ari, merosotnya harga minyak tak bertahan lama usai OPEC+ mengurangi produksi hingga 2 juta barel per hari (bph). Walau realisasinya baru mencapai kisaran 800.000 bph, kondisi tersebut kembali mengerek harga minyak di kisaran US$ 95-100 per barel.