Calon Negara Donor Ragukan Komitmen Indonesia Pensiunkan Dini PLTU

Muhamad Fajar Riyandanu
10 Juni 2022, 18:14
emisi karbon, pltu, pensiun dini pltu, transisi energi,
ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/pras.
Seekor kuda mencari makan dengan latar belakang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (12/2/2022).

Sejak Indonesia mendeklarasikan diri untuk mempercepat rencana netralitas karbon, sejumlah delegasi iklim dari negara-negara maju telah menawarkan dukungan dan bantuan keuangan untuk menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Amerika Serikat (AS) dan Eropa berharap untuk mencapai kesepakatan tersebut pada saat Indonesia menjadi tuan rumah G20 di Bali pada November. Kesepakatan ini akan menjadi tonggak penting dalam upaya global untuk mengurangi emisi dan memberikan dorongan untuk KTT iklim COP27 PBB di Mesir pada bulan yang sama.

Indonesia menargetkan untuk menurunkan emisi sebesar 29% hingga 41% dari tingkat capaian yang ditetapkan jika pemerintah tidak mengubah kebijakan apa pun. Target minimum dicapai dengan langkah-langkah seperti co firing PLTU, menghentikan pembangkit listrik yang lebih tua lebih awal, dan mengurangi subsidi.

Sementara target penurunan emisi sebesar 41% hanya bisa dicapai dengan bantuan asing. Sebagai salah satu negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, ini tujuan yang ambisius. Apalagi batu bara menghasilkan sekitar 60% listrik di Indonesia.

Perang di Ukraina telah meningkatkan permintaan batu bara global sehingga melambungkan harga saham dan keuntungan perusahaan pertambangan. Ini semakin menarik investor untuk berinvestasi pada sektor ini.

Namun di Indonesia, harga batu bara untuk sektor kelistrikan ditetapkan di bawah harga pasar internasional, sehingga peluangnya kecil untuk ada sedikit peluang untuk menghubungkan pemasok energi terbarukan.

Negara-negara kaya bertaruh bahwa perjanjian yang dikenal sebagai Kemitraan Transisi Energi yang Adil akan membantu memecahkan kebuntuan dan mengakomodir negara-negara yang bergantung pada bahan bakar fosil, seperti Afrika Selatan dan Indonesia dengan pembiayaan dan dukungan untuk mempercepat transisi energi.

Akan tetapi, pelaksanaan transisi energi di Indonesia menghadapi jalan terjal karena sejumlah pejabat yang tak setuju dengan langkah tersebut. Tiga perwakilan dari negara-negara donor telah menyampaikan kekhawatiran bahwa kabinet Presiden Joko Widodo terpecah karena adanya wacana mengakhiri penggunaan batu bara.

"Beberapa dari mereka ingin terus mengembangkan sektor batu bara, lainnya mencari dana miliaran untuk menutup setiap pabrik batu bara," kata Jake Schmidt, direktur program iklim internasional di organisasi nonprofit Natural Resources Defense Council, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (10/6).

Dia menambahkan bahwa bukan itu yang dibayangkan oleh negara-negara donor. Sebab kerangka dasarnya adalah berhenti membangun batu bara baru dan mulai mengurangi yang sudah ada. ”Tetapi ada bagian dari pemerintah Indonesia yang kurang setuju,” ujarnya.

Secara publik, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen yang kuat untuk mengendalikan batu bara dan mengembangkan energi hijau. Dian Triansyah Djani, Co-Sherpa untuk kepresidenan G20 Indonesia dan duta besar untuk PBB, mengatakan Indonesia menyambut baik diskusi menuju Kemitraan Transisi Energi yang Adil.

Ia mengatakan Presiden Jokowi telah berjanji untuk menutup semua pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia pada tahun 2055. Pada 2060, Indonesia secara penuh akan bergantung pada sumber energi terbarukan.

"Tidak ada pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang akan disetujui dan ada rencana untuk meluncurkan aturan pajak karbon pada awal bulan Juli," ujar Dian.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...