Pajak Karbon Mulai Juli, PLTU Kena Biaya Ekstra Jika Emisinya Berlebih

Abdul Azis Said
8 Juni 2022, 18:43
pajak karbon, pltu, emisi karbon
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).

Pajak karbon dijadwalkan akan diterapkan pada awal Juli setelah sempat ditunda tiga bulan dari rencana awal pada April. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, untuk tahap awal, aturan ini akan berlaku bagi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

"Dengan skema ini, pembangkit listrik batu bara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas akan dikenakan biaya tambahan," kata Airlangga dalam acara IISD X Katadata Webinar: The G20 Energy Communique and Leaders Declaration, Rabu (8/6).

Namun, Airlangga menilai pengenalan pajak karbon saya belum cukup untuk mendorong transisi energi. Menurutnya, dibutuhkan juga adanya pertukaran informasi dan pengalaman, serta peningkatan sumber daya manusia (SDM) terkait nilai ekonomi karbon (NEK).

Adapun rencana pemberlakuan pajak karbon sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan perpajakan (HPP) rencananya dimulai pada 1 April. Namun, karena masih perlunya harmonisasi dengan aturan lain terkait NEK serta pemulihan ekonomi, implementasinya digeser menjadi 1 Juli 2022.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengatakan sampai saat ini aturan teknisnya masih terus digodok. Rencananya, penerapan pajak karbon tahap awal akan diberlakukan bagi PLTU batu bara. Kemudian implementasinya akan diperluas untuk sektor lainnya mulai 2025.

Adapun implementasi pajak karbon berlaku dua skema, yakni perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).

Pada skema cap and trade, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan, maka bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari entitas lain yang emisinya di bawah batas. Opsi lainnya, bisa juga dengan membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).

Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax. Ini berarti sisa emisi yang melebihi batas tadi akan dikenakan pajak karbon.

Tarif karbon rencananya ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran. Tarif minimum rencananya ditetapkan sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Simak databoks berikut:

Selain akan meluncurkan instrumen pajak karbon, pemerintah juga sudah memperkenalkan sejumlah instrumen NEK seperti perdagangan emisi, kredit karbon dan pembiayaan berbasis kinerja. Hal ini diterangkan dalam Perpres Nomor 98 tentang NEK.

"Instrumen NEK tentunya berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim, baik dalam National Determine Contribution (NDC) atau target net zero emission pada 2060," kata Airlangga.

Reporter: Abdul Azis Said

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...