Nur Pamudji, Merugikan atau Menguntungkan Negara?

Metta
Oleh Metta Dharmasaputra.
14 Oktober 2019, 07:15
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina

Untuk pasokan ke tiga pembangkit yang dimenangkan Pertamina pun, diperoleh alpha yang rendah. Perinciannya, Muara Tawar 2,568%, Grati dan Gresik 2,731%, sedangkan Muara Karang dan Tanjung Priok 1,875%.

Berdasarkan hasil lelang itu, maka diproyeksikan akan diperoleh penghematan sebesar Rp 1,57 triliun selama empat tahun.

Kelima, meski TPPI tidak bisa memenuhi seluruh komitmennya, sesungguhnya telah terjadi realisasi penghematan. PLN mencatat bahwa dari pasokan HSD ke PLTGU Tambak Lorok (Februari-Oktober 2011) dan PLTGU Belawan (Februari 2011-April 2012) biaya yang berhasil dihemat sebesar Rp 248,6 miliar.

Di luar itu, penghematan juga dihasilkan dari pasokan HSD ke Belawan oleh Shell (Agustus 2011-Maret 2013) dan KPM (Maret 2013-Desember 2014) yang menggantikan TPPI. Dari keduanya bisa dihemat sebesar Rp 275,5 miliar.

Jika ditotal, maka penghematan yang bisa direalisasikan berkat tender adalah Rp 524,1 miliar atau sekitar 33,4% dari target. Berdasarkan fakta ini, jelas tidak ada kerugian negara. Yang terjadi justru negara telah diuntungkan. Selain itu, PLN pun sudah mencairkan uang jaminan dari TPPI senilai total Rp 50 miliar.

Keenam, diduga telah terjadi miskalkulasi kerugian negara. Belum diketahui persis bagaimana metode penghitungan BPK yang menyimpulkan ada kerugian negara Rp 188,7 miliar. Sebab, laporan audit investigasi 2018 tersebut belum dilansir.

Besar kemungkinan perhitungan kerugian negara didapat dari selisih antara harga pembelian dari TPPI dan harga dari Pertamina (MOPS+5%). Jika ini yang dilakukan, jelas keliru. Sebab, setelah TPPI wanprestasi, pasokan HSD dilanjutkan oleh Shell dan KPM. Bukan oleh Pertamina.

Harga pembeliannya pun sama dengan harga TPPI. Sebab, Shell dan KPM yang menawarkan harga terendah saat tender. Namun, kemudian kemenangan diberikan kepada TPPI melalui skema right to match (hak penyamaan harga).
Penting juga dicatat bahwa selain pengadaan BBM-HSD via tender, sebagian lainnya tetap dipasok oleh Pertamina ke PLN dengan harga MOPS+5%. Di sinilah kemungkinan kerancuan penghitungan oleh BPK terjadi.

Untuk memastikan ini, audit investigasi BPK perlu segera dibuka ke publik. Jika memang benar terjadi kekeliruan penghitungan, maka unsur kerugian negara yang menjadi dasar delik korupsi tidak terpenuhi. Dakwaan harus batal demi hukum.

Ketujuh, audit BPK pada 2011 sesungguhnya sudah menyimpulkan bahwa proses pengadaan BBM-HSD melalui pelelangan pada 2010 sudah sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa di PLN. Hal ini tertuang dalam Laporan audit BPK atas pemeriksaan dengan tujuan tertentu sektor hulu listrik pada PT PLN (Persero) No. 30/auditama VII/PDTT/09/2011.

Kedelapan, asumsi BPK soal besaran dana jaminan tidak realistis. Dalam audit lanjutan, BPK menilai besaran dana jaminan pelaksanaan dari TPPI terlalu kecil. PLN mematok sebesar 5% dari nilai transaksi selama empat bulan atau sekitar Rp 50 miliar. Sementara, auditor BPK berpendapat, seharusnya 5% dari nilai kontrak 36 bulan yang berarti Rp 450 miliar.

Asumsi dan perhitungan BPK tersebut, jelas tidak realistis. Berhubung, dengan jaminan setinggi itu maka penawaran harga dari setiap peserta tender pun akan jauh lebih tinggi. Akibatnya, penghematan biaya pembelian BBM-HSD akan jauh lebih kecil. Bahkan, tender bisa gagal dilaksanakan, karena cost-of-money bagi peserta tender menjadi terlalu besar.

(Baca: Polisi Sita Uang Rp 173 M dalam Kasus Korupsi Eks Bos PLN Nur Pamudji)

Kesembilan, pemberian right to match kepada TPPI atau hak untuk menyamakan harga dengan penawar terendah, yang juga dipersoalkan BPK, sesungguhnya lazim diterapkan dalam proses tender. Langkah ini pun bagian dari upaya optimalisasi pengoperasian TPPI, yang sebagian besar sahamnya dikuasai negara. Selain itu, hak yang sama juga diberikan PLN kepada Pertamina.

Kesepuluh, jika dilihat secara kronologis, terdapat kejanggalan dalam proses hukum terhadap Nur Pamudji. Status tersangka sudah diumumkan sejak 2015. Namun, audit investigasi BPK yang menyimpulkan ada kerugian negara sebagai salah satu prasyarat tindak pidana korupsi, baru dikeluarkan pada 2018. Atas dasar ini, diduga penetapan tersangka memiliki cacat hukum.

Kriminalisasi Kebijakan

Melihat sederet alasan dan kejanggalan di atas, maka patut diduga bahwa pengusutan tindak pidana korupsi kasus PLN-TPPI mengarah pada kriminalisasi kebijakan korporasi. Sehubungan dengan itu, Pengadilan harus berani memutus bebas Nur Pamudji dari segala tuntutan dan dakwaan.

Tentang kriminalisasi kebijakan, sejauh ini cukup banyak kasus serupa terjadi. Dan jika ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan tak akan ada lagi orang-orang terbaik yang mau menakhodai BUMN.

Untuk memperbaiki kondisi ini, maka perlu adanya penguatan pemahaman aparat penegak hukum tentang Doktrin Business Judgment Rule. Seperti diatur dalam UU Perseroan Terbatas pasal 97 ayat 5, doktrin BJR memberikan perlindungan hukum bagi direksi atas setiap keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, sepanjang keputusan itu dibuat dengan itikad baik.

Perlu juga digarisbawahi bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2006 telah menghapus frasa "Dapat" Merugikan Keuangan Negara dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Dengan dihilangkannya frasa "Dapat" tersebut, maka alasan Potensi Kerugian Negara tdak bisa lagi digunakan dalam delik pidana korupsi. Kerugian negara harus nyata dan pasti.

Halaman:
Metta
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...