Pengaruh Covid-19 terhadap Kebijakan Energi Baru Terbarukan

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
7 Mei 2020, 06:10
Sampe L. Purba
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
Foto udara bendungan Waduk Cirata di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (3/1/2020). Pemerintah bekerja sama dengan perusahaan pengembang energi terbarukan asal Uni Emirat Arab (UEA) dan Masdar akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung pertama di Indonesia di Waduk Cirata dengan kapasitas 145 megawatt yang digadang-gadang akan menjadi PLTS terapung terbesar se-Asia Tenggara.
Sumber EnergiPotentialUtilized
Hydro94,3 GW5,97 GW
Geothermal23,9 GW2,13 GW
Solar PV207,8 GW0,14 GW
Wind Power60,6 GW0.15 GW
Bio Energy32,6 GW1.88 GW
Bio Diesel, Fiber etc8,7 GW75.2 MBOE

Sumber : Kementerian ESDM, 2019

Dalam merumuskan kebijakan energi, pemerintah memperhitungkan asumsi pertumbuhan ekonomi, ketersediaan energi primer, jaringan listrik, daya beli industri dan masyarakat, serta kemampuan PLN untuk bertumbuh dan beroperasi secara sehat. Dalam kenyataannya, asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi tidak setinggi yang diperkirakan sebelumnya. PLN menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk 10 tahun yang dimutakhirkan setiap tahun, serta mendapat persetujuan Pemerintah.

Mengawali 2020, dunia termasuk Indonesia dilanda bencana pandemi virus corona. Covid-19 telah mengakibatkan semua proyeksi ekonomi terkait dengan pertumbuhan ekonomi, permintaan, pertumbuhan industri, penyediaan pembiayaan maupun daya beli masyarakat menurun.

Hal ini berpengaruh kepada kemampuan negara untuk melakukan ekspansi dan menjaga momentum pertumbuhan. Negara-negara di dunia, termasuk Indonesia melakukan penyesuaian dan revisi dalam target-targetnya. Hal ini tentu berdampak juga dalam bidang kebijakan energi.

Indonesia tetap komit untuk dapat mencapai energy mix. Sehubungan dengan pelemahan supply and demand global, Indonesia menyiasatinya di bidang energi dengan beberapa hal sebagai berikut:

Aktivitas ekonomi yang terkait dengan fossil based energy, seperti kegiatan pertambangan batubara, minyak dan gas bumi, akan lebih difokuskan untuk optimalisasi dan intensifikasi eksisting fields. Kegiatan eksplorasi berkurang. Peningkatan nilai tambah seperti industrialisasi dan pemanfaatan primary energy sebagai feedstock untuk petrochemicals.

Untuk tetap menjaga momentum komitmen peningkatan penggunaan energi terbarukan,  mengantisipasi dan menyikapi dampak Covid-19, pemerintah lebih menekankan kepada seleksi program yang berkualitas. Peningkatan akses ke energi, ketersediaan, pemerataan energi ke daerah terpencil, dengan tetap mengoptimalkan sumber energi setempat merupakan kebijakan taktis responsif yang baik.

Tekanan kepada kualitas ini lebih sesuai daripada mengejar kuantitas, ketika geliat perekonomian secara keseluruhan terkoreksi ke bawah. Program-program ekonomi kerakyatan digalakkan pemerintah, dengan berbagai stimulus untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, kesehatan dan kualitas hidup rakyat. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi berkelanjutan yaitu untuk menghapuskan kemiskinan dan memastikan tidak ada negara yang ditinggalkan.

(Baca: Kajian Konversi Pembangkit Tua ke EBT Diharapkan Rampung Tahun Ini)

Untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, pengaruh Covid-19 sangat signifikan. Kita mendengar, target-target pertumbuhan dikoreksi ke bawah, anggaran pendapatan dan belanja negara hampir 25 % direalokasi dan difokuskan untuk menangani dan mengatasi dampaknya. Hal yang sama juga terlihat di sektor pelaku bisnis swasta maupun ekonomi kerakyatan.

Secara kategoris, hal-hal yang menjadi fokus pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan adalah:

  • Mendorong pengembangan pertumbuhan jaringan transmisi kelistrikan ke wilayah-wilayah yang secara aktual dan potensial memiliki sumber listrik tenaga hidro.
  • Pengembangan ekonomi daerah dengan membangun sentra-sentra dan kluster hibrid pembangkit tenaga matahari dan biomassa, terutama di daerah terpencil. Sekalipun jumlahnya kecil antara 5 dan 10 MW, namun potensinya ada ratusan wilayah. Hal ini akan memberi keuntungan ganda, yaitu pemanfaatan energi primer menjadi sumber ekonomi masyarakat, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat.
  • Untuk energi terbarukan skala besar, seperti hydropower dan tenaga angin (bayu), diusahakan tersambung dengan sentra-sentra industri yang padat energi seperti smelter.
  • Dalam rangka mengurangi ketergantungan kepada impor minyak, biofuel berbasis minyak kelapa sawit dikembangkan. Indonesia telah berhasil mengembangkan bahan bakar nabati campuran solar dengan fame yang bersumber dari kelapa sawit hingga 30 % (B30). Peningkatan penggunaan biodiesel pada 2019 dari B20 ke B30 menambah penyerapan dari 6,6 juta kilo liter ke 9,8 juta kilo liter. Ini sekaligus merupakan penghematan penggunaan fossil based fuel.
  • Penguasaan teknologi dan peningkatan nilai tambah, termasuk di dalamnya adalah mendorong pengembangan mobil listrik, perluasan jaringan gas untuk rumah tangga serta memperbanyak penggunaan LNG untuk transportasi.

L’historie se repete, sejarah berulang.  Pada awal industrialisasi abad ke-18, negara-negara Barat mengeksploitasi batu bara sebagai mesin penggerak ekonomi. Selain membawa keunggulan ekonomi, eksploitasi tersebut meninggalkan jejak kerusakan lingkungan. Saat ini negara-negara berkembang tidak punya banyak pilihan untuk meningkatkan ekonomi, memberi lapangan kerja sekaligus menjaga lingkungan. Nilai tukar produk ekonominya tidak seunggul produksi barang dan jasa dari  negara-negara maju.

Indonesia adalah  salah satu paru-paru dunia yang memiliki hutan tropis penyumbang O2 secara signifikan. Di sisi lain, negara-negara maju mengkonsumsi banyak energi, menghasilkan barang-barang industri yang menghasilkan limbah emisi CO2. Oksigen yang kita hirup atau karbon dioksida limbah industri, dihasilkan dan digunakan di bumi yang sama.

Karena itu, adalah penting negara-negara maju membantu negara-negara berkembang dalam semangat kerja sama, baik dalam bentuk bantuan paket ekonomi, kemudahan akses pasar, permodalan maupun capacity building. Sesuai dengan prinsip SDG nomor 17, saatnya warga dunia bekerja sama dalam semangat kemitraan. Menekan negara-negara berkembang untuk mencapai target transisi energi global at any cost, adalah out of context dan tidak realistis.

Halaman:
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...