Pembangkit Listrik Sampah: Sains, Petaka, atau Mimpi (Tak) Sampai?

Luki Safriana
Oleh Luki Safriana
2 Oktober 2021, 11:00
Luki Safriana
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Petugas memantau alat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di Desa Saliguma, Pulau Siberut tengah, Kepulauan Mentawai, Selasa (17/9/2019). PLTBm yang berbasis tanaman bambu, memiliki daya 700 kilowatt yang bisa mengaliri listrik 1.233 pelanggan baru di 3 desa Kabupaten Kepuluan Mentawai. Pembangunannya berasal dari dana hibah Millenium Challenge Corporation (MCC)?Amerika Serikat kepada Kementerian PPN, yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk dikelola dan be

Transformasi Kemajuan Sains, Petaka, atau Mimpi (Tak) Sampai?

Pengolahan sampah menjadi energi listrik terbarukan di Indonesia merupakan kemajuan sains yang progresif. Thomas Samuel Kunt seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat dalam bukunya The Structure of Scientifix Revolutions menjelaskan, pergeseran paradigma membuka pendekatan baru untuk memahami apa yang tidak akan dianggap benar sebelumnya.

Sampah mengalami transformasi paradigma dari semula hanya “buangan” menjadi “kebermanfaatan” luas adalah konteks perubahan signifikan dari adanya kebutuhan mendesak terkikisnya daya dukung lingkungan. Sayangnya, kemunculan Surabaya sebagai awal pembangunan PLTSa tersebut tidak beriring jalan dengan lainnya bahkan belum juga dapat direalisasikan sesuai target. Pasalnya, masih ada permasalahan, di antaranya terkait tipping fee, good will serius dari PLN/pemerintah, dan harga jual listrik PLTSa.

Tipping fee merupakan biaya yang dibayarkan pemerintah daerah kepada pengembangan PLTSa dalam menghasilkan listrik. Berdasarkan Perpres Nomor 35 Tahun 2018, biayanya ditetapkan paling tinggi Rp 500 ribu per ton sampah. Harga listriknya US$ 13,35 sen per kilowatt hour (kWh).

Nilai tersebut sebenarnya masih di bawah keekonomian. Seharusnya, harga listriknya US$ 17 sen per kWh. Namun, tipping fee yang tinggi akan berimplikasi pada kian mahalnya biaya listrik yang dibayarkan konsumen. 

Sebagai informasi, daya listrik yang dihasilkan PLTSa bervariasi antara 500 kilowatt sampai 10 megawatt. Bandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dengan daya 40 MW sampai 100 MW per unit. Lalu, pembangkit listrik tenaga nuklir berdaya 300 MW sampai 1.200 MW per unit. 

Masalah lain yang timbul adalah ego sektoral kelembagaan dan kurang terintegrasinya layanan sehingga acapkali terjadi kisruh yang berujung proyeknya tidak berjalan. Perlu diingat, pengelolaan sampah sesungguhnya merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan Kementerian KLHK, bukan kewajiban PLN maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Penerapan incinerator pada PLTSa, menurut Dosen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum, memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembakaran plastik akan menghasilkan senyawa toksik terutama dioksin dan furan. Senyawa itu dapat terakumulasi di lingkungan, organisme, dan manusia. Akibatnya, mengganggu kesehatan manusia seperti batuk dan sesak nafas.  

Lalu, pembangunan PLTSa secara masif berpotensi mandek kala berganti rezim pemerintahan karena memang “listrik” merupakan salah satu penyebab hadirnya korupsi. Rangkaian yang menghambat ini pulalah yang membuat Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan perhatian serius pada hal ini. 

Transformasi kemajuan sains dalam ranah implementasi penerapan PLTSa harus didukung keseriusan oleh semua pemangku kepentingan. Dari pemerintah daerah, kementerian, PLN, dan masyarakat harus dengan sadar, guyub dan solutif secara progresif menuntaskan gagasan mewujudkan energi terbarukan sampah ini. 

Indonesia negara besar dengan potensi kembang kelola sampah menuju kemandirian energi adalah harapan. Seperti kata filsuf Aristoteles, harapan adalah mimpi dari seorang yang terjaga. Jadi, semoga pengembangan PLTSa bukan mimpi tak sampai. 

Halaman:
Luki Safriana
Luki Safriana
Pengajar Paruh Waktu Prodi S1 Event Universitas Prasetiya Mulya, Mahasiswa Doktoral PSL-IPB University
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...