Pendekar Diplomasi Energi di Pusaran Konflik Rusia - NATO

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
1 Juni 2022, 07:15
Sampe L. Purba
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Kesulitan Iran mengekspor minyak berawal sejak Revolusi Iran tahun 1980-an yang menggulingkan Dinasti Mohammad Reza Pahlavi. Sebagai pemilik sumber daya energi yang besar, Iran dikuatirkan akan dapat mengkapitalisasi pengaruhnya, termasuk mengekspor revolusi Islamnya hingga ke kerajaan-kerajaan di negara teluk.

Kepentingan (meeting of minds) negara-negara teluk yang kuatir dampak ekspor ideologi revolusi Iran bertemu dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutu Baratnya untuk mengendalikan minyak.       

Peran Strategis Geopolitik Turki

Cadangan minyak dan gas Turki sangat sedikit. Hampir semua konsumsi minyak dan gasnya berasal dari impor. Data tahun 2020 ini dapat memberi gambaran. Konsumsi gas Turki 45 – 50 miliar meter kubik per tahun. Sekitar 70 % berasal dari gas pipa, yang dipasok melalui dua jalur pipa gas dari Rusia (sekitar 33 %), dari jalur Azerbaijan 21 %, dan dari Iran 14 %. Sisanya, sekitar 32 % berupa LNG (gas alam cair) yang utamanya dipasok melalui kontrak jangka panjang dengan Amerika Serikat, Algeria, Nigeria dan Qatar.  

Dalam konteks lalu lintas gas, sesungguhnya Turki memiliki posisi geostrategis energi yang sangat penting. Turki merupakan koridor penghubung (hub) transmisi gas antara negara-negara kaya energi seperti Iran, Asia Tengah (Kaukasus), Suriah, Irak maupun dari Rusia menuju Eropa yang defisit minyak maupun gas.  Dengan memperkuat, menambah kapasitas, serta  memperpanjang jalur Trans Anatolian Pipeline hingga ke laut Kaspia, maka negara-negara Asia Tengah akan dapat langsung memasok gas ke Eropa, interkoneksi pada eksisting pipa transmisi atau membuka jalur baru.

Jalur Pipa Gas Iran - Turki - Eropa
Jalur Pipa Gas Iran - Turki - Eropa (Sumber: CEPconsult.com, 2019)

Apabila hal ini dapat diwujudkan, ketergantungan Eropa akan berkurang kepada Rusia. Gas dari Asia Tengah akan dapat masuk melalui koridor Selatan, serta Iran akan dapat memonetisasi gasnya lebih banyak. Perusahaan migas Turki BOTAS bisa memainkan peran seperti Gazprom, bekerja sama dengan Iran dan negara-negara Asia Tengah. Kolaborasi yang saling menguntungkan.

Dapat diduga, dua negara yang paling menentang skenario interkoneksi pipa ini adalah Rusia dan Amerika Serikat. Bagi kedua superpower ini, pikiran dan ide yang demikian harus dibunuh lebih awal. Apapun caranya.

Adagium hubungan internasional mengajarkan, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan. National interest memberi ruang untuk fleksibilitas penciptaan ruang manuver, entah temporer atau permanen. Hipokrasi dan moralitas adalah dua sisi mata uang yang sama.

Penentangan Rusia terutama adalah bahwa negara-negara eks Uni Soviet yang langsung berhubungan dengan Eropa, dapat secara lambat laun menjadi mitra strategis Eropa dalam ekonomi, politik, maupun pertahanan. Ini akan menggoncang tatanan yang ada. Dengan Ukraina saja, Rusia telah pusing.

Adapun kekuatiran Amerika Serikat yang terutama adalah tidak berhasilnya lagi Amerika Serikat bersama dengan para sekutunya melakukan containment (penghempangan) kepada Iran, kompetitor dan pesaing negara-negara Arab kaya minyak di belahan Asia. Amerika Serikat harus mempertahankan posisinya sebagai aktor penjaga balance of power antar-negara-negara kaya minyak yang bersaing.

Kesempatan bagus bagi Turki dan Iran untuk menunjukkan kepeloporannya kepada dunia. Kedua negara itu adalah pewaris peradaban besar, dan pernah menjadi superpower pada zamannya. Turki di bawah kekhalifahan Ottoman pada abad 13 pernah berjaya selama 600 tahun. Demikian juga Iran –yang mewarisi kebudayaan Persia- adalah superpower pertama di dunia pada zaman Cyrus yang Agung, yang kekaisarannya membentang dari lembah Hindus hingga semenanjung Balkan.

Dunia akan lebih baik apabila ada keseimbangan multi polar. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa aktor pelaku bisnis yang hegemonis dan monopolistis hanya akan menyebabkan inefisiensi barang dan jasa, yang pada akhirnya digeser ke pengguna akhir. Hal yang sama juga berlaku di bidang politik, ekonomi maupun  militer.

Ongkos politik dan keamanan pada tatanan yang demikian adalah besar. Diam-diam, negara-negara yang tidak merupakan aktor utama (non major power) berharap hadirnya konstelasi keseimbangan baru.

Kita akan lihat, selincah dan sejauh mana kedua pendekar kita ini -Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi dapat bekerja sama. Juga, menyingkarkan hambatan-hambatan politis dan psikologis di antara mereka dalam memainkan posisi tawar untuk mengukir gelanggang gravitasi yang baru.

Diplomasi energi dengan modal geopolitik dan warisan historis itu merupakan bekal penting.  Atau kalau perlu, mereka sekalian minta nasehat dari Xi Jin Ping – Pemimpin RRC, juga pewaris kejayaan masa lalu, yang telah mampu membangkitkan dan mentransmisikan gelombang efek gentar, bagi kawan dan lawan.

Bukan apa-apa, kali ini lawan tanding Pendekar Diplomasi Energi kita ini, tidak main-main, Putin dari Negeri Beruang Merah dan Opa Joe Biden dari Negeri Cowboy.         

Good luck Gentlemen

Halaman:
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...