Hilirisasi, Penciptaan Nilai Tambah, dan Pertumbuhan Ekonomi

Mohamad Ikhsan
Oleh Mohamad Ikhsan
15 November 2022, 10:28
Mohamad Ikhsan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Ekonomi dan Peneliti Senior LPEM FEUI

Faktor Keberhasilan Program Hilirisasi

Mengacu pengalaman negara Asia Timur – Jepang, Korea Selatan, dan Cina ekspansi industri manufaktur di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya berdasarkan sumber daya (endowment) yang dimiliki, tetapi melalui proses penciptaan basis sumber daya manusia yang terampil. Hal ini sejalan dengan pemikiran pemenang Nobel ekonomi lainnya, Profesor Paul Krugman (1994) yang berpendapat bahwa proses penciptaan nilai tambah seharusnya berasal dari inspirasi dan inovasi dan bukan dari kegiatan peras keringat (perspiration).

Yustin Yifu Lin – mantan Chief Economist Bank Dunia dari Cina – bersama Vandana Chandra dan Yan Wang dari Bank Dunia (2013) dalam “Leading Dragon Phenomenon: New Opportunities to Catch-Up in Low Income Countries” menunjukkan pembangunan ekonomi merupakan proses yang kontinyu dari industrial dan technological upgrading dan disertai oleh proses transformasi struktural.

Negara-negara yang sukses dalam proses penciptaan nilai tambah ini mengadopsi apa yang disebut dengan comparative advantage following (CAF) strategies. Strategi CAF pada dasarnya memanfaatkan keunggulan sebagai pengikut (late-comer advantage) seperti pola angsa terbang.

Banyak contoh sukses dan gagal dari pengikut pola angsa terbang ini. Jepang sukses mengadopsi pola angsa terbang dengan mereplikasi pola industri yang ditinggal oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II. Korea, Cina, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Vietnam sukses mengikuti pola angsa terbang dengan mengembangkan industri yang ditinggalkan oleh Jepang.

Sementara itu negara Amerika Latin dan Asia Selatan gagal dalam menerapkan pola angsa terbang karena mengadopsi apa yang disebut oleh Yustin Lin dkk sebagai comparative advantage defying (CAD) strategies. Strategi ini mengikuti paradigma strukturalis yang melakukan strategi substitusi impor yang sama dengan negara-negara industrialis.

Strategi ini harus dilakukan dengan mengandalkan pasar domestik yang sempit dan melalui proteksi perdagangan serta overvaluasi nilai tukar. Seperti halnya negara-negara Amerika Latin, negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea, Cina dan negara-negara ASEAN) juga menerapkan strategi substitusi impor.

Yang membedakan antara kedua kelompok negara tersebut adalah negara-negara Asia Timur memastikan bahwa komoditas yang dipilih untuk diproteksi benar-benar memiliki keunggulan komparatif yang laten. Kombinasi antara strategi promosi ekspor dan substitusi impor terpilih memungkinkan negara-negara Asia Timur (yang dikenal juga dengan negara-negara industri baru) mempercepat pembangunan ekonominya untuk memperkecil kesenjangan pendapatan dengan negara-negara industrial lama.     

Diop dan Laabidi (akan dipublikasikan)[4] dengan model teoritisnya mencoba melihat dampak proses upgrading dalam value chain terhadap pertumbuhan ekonomi. Inti dalam riset teoritisnya tersebut adalah pertama, dampak ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi. Ada dua kesimpulan penting dari studi teoritis ini. Kesimpulan pertama adalah memperkaya teori dan empiris hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonom.

Studi ini menunjukkan bahwa dampak ekspor (dari peningkatan nilai tambah ini) terhadap pertumbuhan ekonomi tidak selalu positif. Ekspor baru berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi jika pangsa nilai tambah dari input domestik terhadap nilai ekspor lebih besar dari rasio imported input sebagai persentase terhadap nilai ekspor.

Negara dengan “domestic content” dari ekspor yang rendah akan kesulitan untuk menggunakan ekspor sebagai “mesin pertumbuhan ekonomi”. Kecuali, negara tersebut dapat mendorong pertumbuhan volume ekspor yang “robust” dan persisten seperti yang dilakukan Cina lebih dari tiga dekade.

Kesimpulan ini membuka peluang untuk menjustifikasi program peningkatan nilai tambah (hilirisasi) dengan kondisi yang disebutkan dalam kesimpulan kedua studi ini yaitu jika ekosistem dari suatu rantai industri (industrial value chain) dapat terbentuk.

Belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti di Silicon Valley di California Amerika Serikat atau kawasan industri Guangzhou di Cina, penciptaan ekosistem rantai nilai ini akan lebih mudah melalui pembentukan aglomerasi industri. Aglomerasi industri ini merupakan solusi yang efisien dalam pembentukan pasar input domestik dan input antara. [5] 

Kesimpulan kedua ini memberikan implikasi bahwa terbentuk atau tersedianya ekosistem rantai nilai industri akan meningkatkan peluang dari program hilirisasi.

Di sektor pertanian pun, fenomena upgrading supply chain tidak banyak berbeda. Transformasi struktural telah mendorong perubahan dalam sisi permintaan.

Ada perubahan permintaan dengan peningkatan pendapatan per kapita yaitu perubahan komposisi permintaan makanan ke arah makanan dengan kandungan protein hewani dan meninggalkan makanan dengan kandungan karbohidrat. Pada saat yang sama konsumen makin cerewet dengan kualitas.

Perubahan ini menuntut modernisasi dalam setiap proses pada rantai penawaran ini. Kegiatan-kegiatan yang sebelumnya dikelola secara tradisional memerlukan transformasi ke arah pengelolaan yang lebih modern. Perubahan ini akan mendorong proses penciptaan nilai tambah di mana sebagian besar dari nilai tambahnya akan terjadi di sektor jasa.

Satu lagi fenomena yang menarik dari proses hilirisasi ini juga terjadi di sektor jasa. Singapura, misalnya, mengembangkan diri menjadi trade hub yang terpercaya di dunia.  Untuk mencapai tujuan tersebut, Singapura membangun pelabuhan (transshipment) dan bandara yang efisien.

Bandara Changi Singapura
Bandara Changi Singapura (Pixabay/VacacionesPagodasBlog )

Singapura mengembangkan transshipment port dengan marjin yang sangat rendah, bukan untuk mencari keuntungan yang maksimum dari kegiatan pelabuhan. Tujuannya untuk menumbuhkembangkan kegiatan-kegiatan jasa yang lebih tersier seperti perbankan, asuransi serta kegiatan-kegiatan lain yang menunjang industri maritim.

Jadi, walaupun gain yang diperoleh oleh Singapure tergolong kecil dari kegiatan pelabuhan (transhipment), tetapi mereka memperoleh nilai tambah yang besar dari berkembangnya asuransi perkapalan dan kegiatan yang terkait lainnya.

Begitu pula dengan justifikasi pengembangan bandara Changi yang megah dan efisien yang diutamakan untuk mendukung agar Singapura dapat menjadi financial hub yang terpercaya secara regional maupun global. Pelajaran dari kasus ini menunjukkan bahwa seringkali nilai tambah yang dihasilkan bukan dari industri basisnya melainkan dari backward atau forward linkages-nya.     

Halaman selanjutnya: Pelajaran Apa yang Bisa Kita Petik dari Hilirisasi yang Gagal?

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...