Potensi Produksi Baterai Domestik dan Kesiapan BUMN

Jimmy Wijaya
Oleh Jimmy Wijaya
1 April 2023, 08:00
Jimmy Wijaya
Katadata

Dengan gambaran tersebut, produksi nikel saat ini akan berefek pada konsumsi bijih nikel di dalam negeri akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang. Kemungkinan, konsumsi bijih nikel Indonesia pada 2025 diperkirakan bisa mencapai 400 juta ton.

Sementara, sumber daya alam jenis kobalt juga termasuk bahan baku yang keberadaannya cukup melimpah. Dengan jumlah cadangan 600 ribu metrik ton menempatkan Indonesia pada urutan ketiga setelah Kongo dan Australia sebagai penghasil kobalt terbesar dunia yang umumnya digunakan sebagai bahan katoda dalam baterai Li-ion.

Dengan limpahan SDA sebagai bahan baku baterai, produksi baterai tidak hanya untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Potensi pasar ekspor juga tidak boleh diabaikan. Indonesia dapat memproduksi baterai untuk kendaraan listrik dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara- negara lain. Hal ini akan memberikan keuntungan kompetitif bagi Indonesia dalam menjual baterai kendaraan listrik ke negara lain.

PERESMIAN SPKLU DI TANGERANG
PERESMIAN SPKLU DI TANGERANG (ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.)

Kesiapan BUMN Indonesia

Komisaris Utama PT. Pertamina (Persero), Basuki Tjahaya Purnama atau biasa disapa Ahok memberikan dukungan pemerintah dalam memproduksi baterai kendaraan listrik, apalagi dengan sumber daya nikel yang dimiliki. Sebagai langkah konkret, Pertamina melalui Direktur Utama Nicke Widyawati menyampaikan keyakinannya sebagai sebuah “power house” yang siap mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik.

Pada ajang dalam World Economic Forum, di Davos, Swiss belum lama ini, Nicke yakin Pertamina mampu memproduksi baterai sekaligus meningkatkan penetrasi EV di pasar global. Apa yang diyakini Nicke tentu berdasarkan pada track record Pertamina yang telah lama menjadi pemain besar dalam industri minyak dan gas di Indonesia dan ditunjang infrastruktur memadai.

Lantas, apa saja yang menjadi keunggulan Pertamina sebagai produsen baterai? Yang mendasar, perusahaan energi ini telah memiliki pengalaman dalam mengelola cadangan energi fosil guna memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Untuk mengembangkan baterai EV diperlukan rangkaian riset dan pengembangan. Tapi dengan latar pengalaman yang sudah ada, diyakini Pertamina bisa melakukannya secara maksimal. Itu karena kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang energi. Dengan demikian, Pertamina memiliki keahlian yang diperlukan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik dengan standar yang tinggi.

Dalam rangka pengembangan ekosistem dan pembangunan EV battery di Indonesia, Pertamina bersama beberapa perusahaan di bawah BUMN akan menjalankan tujuh tahapan penting. Antara lain mining, refining, precursor plant, cathode plant, battery cell, battery pack, dan recycling.

Pertamina akan bergerak pada empat lini tengah yakni, precursor, cathode, battery cell, dan battery pack. Sementara pada tahap recycling, Pertamina akan bersinergi dengan PLN. Adapun di hulu, akan menjadi lingkup kerja PT Antam bersama Inalum.

Pertamina akan memastikan tahapan dan langkah dalam pengembangan baterai EV berpores kearah yang lebih baik. Tahun 2021 lalu, Pertamina beserta tiga BUMN lainnya akan membentuk perusahaan patungan (joint venture) Indonesia Battery Corporation (IBC). Pertamina juga sudah bekerja sama dengan dua perusahaan global dan sedang menjajaki kerja sama dengan perusahaan lainnya.

TARGET PENAMBAHAN SPKLU PLN DI JAWA BARAT
TARGET PENAMBAHAN SPKLU PLN DI JAWA BARAT (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.)

Tantangan Pertamina

Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Pertamina masih memiliki beberapa tantangan yang perlu diatasi. Pertama, teknologi baterai kendaraan listrik terus berkembang dengan cepat, dan Pertamina harus terus mengikuti perkembangan tersebut agar dapat memproduksi baterai yang lebih efisien dan terjangkau.

Selain itu, persaingan di industri baterai kendaraan listrik semakin ketat, dengan produsen baterai terkemuka seperti LG Chem, Panasonic, dan Tesla, bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.

Tak hanya itu, Pertamina juga perlu memperhatikan aspek lingkungan dalam produksi baterai kendaraan listrik. Produksi baterai membutuhkan bahan-bahan yang berpotensi merusak lingkungan seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya. Oleh karena itu, Pertamina perlu memastikan produksi baterai dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan dan mematuhi standar internasional dalam hal pengelolaan limbah dan perlindungan lingkungan.

Namun, jika Pertamina berhasil memproduksi baterai kendaraan listrik secara efektif, hal ini dapat memiliki dampak positif bagi industri mobil listrik di Indonesia. Produksi baterai kendaraan listrik yang lebih murah dan terjangkau dapat membantu mempercepat adopsi mobil listrik di Indonesia, yang saat ini masih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju.

Halaman: