Menanti Gebrakan Besar Diversifikasi Pangan agar Tak Melulu Beras

Dedy Arfiansyah dan Bernad Kevinta
Oleh Dedy Arfiansyah dan Bernad Kevinta
8 November 2023, 12:01
Dedy Arfiansyah dan Bernad Kevinta
Katadata/Bintan Insani

 “Semakin maju suatu negara maka peranan sektor pertanian terhadap GDP akan semakin menurun”. Teori patterns of development dari Chenery & Syrquin tersebut merupakan ironi bagi kebanyakan negara berkembang yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian, tapi belum mampu bersaing bahkan masih bergantung pada negara maju.

Saat ini, Indonesia dapat dikatakan rawan pangan,utamanya beras. Kerawanan ini salah satunya disebabkan terlalu bergantung pada beras impor dari Vietnam, Thailand, Pakistan, dan India. Berdasarkan data Trade Map dalam dua dekade terakhir, Indonesia masuk 10 besar negara importir beras terbesar di dunia dengan rata-rata sekitar 857.354 ton per tahun. Jumlah impor tiap tahunnya fluktuatif tergantung kondisi produksi dalam negeri.

 



Data BPS 2022 menunjukkan bahwa 75% sentra produksi beras terdapat di tujuh provinsi, yaitu Jawa Timur (17,44%), Jawa Barat (17,32%), Jawa Tengah (17,17%), Sulawesi Selatan (9,56%), Sumatera Selatan (4,94%), Lampung (4,77%), dan Sumatera Utara (3,81%). Jumlah produksi beras pada 2022 mencapai 32.074.044 ton, dimana 97,33% dikonsumsi sebagai bahan makanan, 0,17% untuk pakan, dan tercecer sekitar 2,50%.

Kenaikan Harga Beras

Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Maka itu, persediaannya perlu diatur agar masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah dan murah.

Apalagi saat ini dunia dihadapkan pada penurunan produksi pangan akibat El Nino dan alih fungsi lahan pertanian. El Nino menyebabkan turunnya produksi serealia (padi, jagung, sorgum, dan gandum) yang dapat mengurangi produksi beras sebesar 3-6% (Kompas, 12 Oktober 2023).

 

Berkurangnya produksi menyebabkan harga beras naik signifikan. Menurut publikasi BPS (1 November 2023), secara akumulatif selama tahun 2023 beras menyumbang andil inflasi terbesar yaitu sebesar 0,49% (year to date /ytd) Oktober 2023. Salah satu strategi mengatasi kenaikan harga yaitu dengan cara impor, namun impor memberikan disinsentif kepada para petani untuk menanam padi dan sulit mewujudkan kemandirian pangan.

Diversifikasi Pangan

Upaya lain untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga beras adalah diversifikasi pangan seperti saran dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Menurut saran Tito Karnavian, diversifikasi dapat dilakukan dengan mengonsumsi papeda, sagu, jagung, talas, yam, ubi jalar, sorgum, dan sukun (Tempo, 3 Oktober 2023)

Imbauan diversifikasi pangan juga dikemukakan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dengan menganjurkan makan dua buah pisang. Nilai gizi dua buah pisang disebut-sebut setara dengan satu porsi nasi seberat 100 gram (Detik, 3 April 2022).

Dari semua opsi diversifikasi pangan di atas, pisang merupakan buah yang tidak termasuk dalam makanan pokok sumber karbohidrat. Satu porsi nasi setara dengan 100 gram mengandung 175 kilo kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat. Jika dibandingkan dengan dua buah pisang setara dengan 100 gram, hanya mengandung 80 kilo kalori dan 20 gram karbohidrat (Permenkes 41/2014).

Dalam menentukan diversifikasi jenis pangan yang dikonsumsi setidaknya tergantung tiga hal, yaitu:
1. Ketersediaan Pangan
Pengembangan pangan alternatif dapat dirasionalisasikan dengan melihat jumlah produksi dan tingkat persebaran suatu komoditas. Dari data BPS dan Kementan pada 2022, produksi komoditas pangan yang paling banyak di Indonesia adalah beras, jagung, ubi jalar, kentang, sagu, dan sukun.

Sebagian besar sentra produksi komoditas tersebut terdapat di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Spesifik sagu, produksi terbesar di provinsi Riau (71,58%) dan Papua (18,52%).

2. Pola Konsumsi dan Faktor Harga
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022, sekitar 64-70% pengeluaran penduduk miskin digunakan untuk makanan. Dari jumlah tersebut, sebesar 22%-40% berupa padi-padian (sereal).

Berdasarkan nilai garis kemiskinan (GK) menurut BPS pada September 2022 sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau di bawah garis kemiskinan. Dari perhitungan itu, didapatkan data jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang.

Halaman:
Dedy Arfiansyah dan Bernad Kevinta
Dedy Arfiansyah dan Bernad Kevinta
Analis Kebijakan dan Pengelola Data dan Informasi - Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...