Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 yang sedianya dilaksanakan di 270 daerah pada 23 September tahun ini resmi ditunda. Keputusan ini diambil pada Senin (30/1) lalu melalui rapat antara Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Alasan penundaan untuk mencegah penyebaran virus Corona, karena banyak tahapan dalam Pilkada yang mengharuskan tatap muka dan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Dua hal ini berpotensi memperluas penyebaran virus Corona.
Namun, rapat tersebut masih belum bersepakat tentang masa waktu penundaan. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melalui keterangan resminya yang diterima Katadata.co.id, Rabu (1/4), menyatakan masih melihat perkembangan penyebaran virus Corona di Indonesia sebagai rujukan penentuan jadwal penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.
“Bila perang melawan Covid-19 ini tuntas dan selesai, maka saya dan teman-teman DPR, Bawaslu, KPU, dan DKPP akan bertemu lagi untuk urun rembug menentukan jadwal pelaksanaan Pilkada 2020,” kata Tito.
Hal sama disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem, Saan Mustopa. Saat ini menurutnya fokus DPR bersama pemerintah menanggulangi virus Corona dan belum bisa menjadwalkan pelaksanaan Pilkada 2020.
Sedangkan KPU sebagai penyelenggara memberi opsi tiga tanggal pelaksanaan Pilkada 2020. Pertama, tanggal 9 Desember 2020 dengan masa penundaan 3 bulan. Kedua, 17 Maret 2021 dengan masa penundaan 6 bulan. Ketiga, 29 September 2021 dengan masa penundaan satu tahun.
Ketiga opsi tersebut, kata Ketua KPU Arief Budiman saat dihubungi, telah mempertimbangkan kemungkinan masa pandemi Corona di negeri ini. Dengan asumsi paling cepat tiga bulan dan paling lama setahun seperti diperkirakan banyak ahli pandemi dunia.
(Baca: Pukulan Dua Arah Virus Corona ke Industri Manufaktur)
Ancaman Lowong Jabatan Massal Kepala Daerah
Permasalahannya, opsi kedua dan ketiga yang ditawarkan KPU berpotensi membuat lowong jabatan di seluruh daerah penyelenggara Pilkada 2020. Karena rata-rata akhir masa jabatan kepala daerah di 270 daerah penyelenggara akan berakhir di Februari dan Juni 2021. Sesuai dengan waktu terpilih mereka pada Pilkada 2015.
Artinya, pemerintah harus menyiapkan 270 penjabat sementara (Pjs) seusai dengan Pasal 201 ayat (10) dan (11) Undang-Undang No 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur mekanisme pengisian lowong jabatan. Penjabat gubernur berasal dari Aparatur Sipil Negara (ASN) berpangkat tinggi madya dan penjabat walikota/bupati dari ASN berpangkat pimpinan tinggi pratama. Mereka akan menjabat sampai kepala daerah baru dilantik.
Merujuk kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2019 yang mengatur tahapan Pilkada 2020, jangka waktu dari masa pendaftaran yang mengharuskan calon petahana melepaskan jabatannya sampai penetapan pemenang oleh KPU adalah lima bulan. Berkaca ke pemilu-pemilu sebelumnya, jeda penetapan pemenang sampai pelantikan adalah 2 bulan. Maka, seorang Pjs di seluruh daerah harus menjabat selama 7 bulan.
Berbeda jika Pikada 2020 berlangsung sesuai terjadwal, maka penjabat hanya berlaku bagi kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali. Berdasar pernyataan Mendagri Tito Karnavian pada 27 Januari lalu, sebanyak 224 daerah memiliki kepala daerah yang baru menjabat satu periode dan berpotensi menjadi kandidat petahana di Pilkada 2020.
Angka itu masih berpotensi berkurang dengan asumsi tak semua petahana mencalonkan diri lagi. Sehingga jumlah Pjs kepala daerah tak sebanyak ketika Pilkada ditunda.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai lowong jabatan massal akan berdampak kepada kesiapan pemerintah dalam mengisinya. Karena ASN tingkat madya dan pratama tentu telah mengemban tugas tertentu yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Ia khawatir hal ini bisa menciptakan tumpang tindih kewenangan yang bisa berakibat buruk pada pelayanan publik dan pelaksanaan birokrasi.
Apalagi, kata Titi, saat ini pemerintah mesti melakukan penanggulangan virus Corona yang membutuhkan tenaga ASN di seluruh tingkatan, menyusul penetapan Keppres Kedaruratan Kesehatan oleh Presiden Jokowi. Tumpang tindih, bahkan rangkap jabatan yang mungkin terjadi pada Pjs, kepala daerah bisa membuat langkah penanggulangan virus Corona tidak berjalan efektif.
“Ini yang harus dijawab oleh Perppu. Apakah Perppu tetap sama dengan Pasal 201. Apakah akan ada skema baru?”, kata Titi kepada Katadata.co.id melalui telepon, Rabu (1/4).
Lebih-lebih, kata Titi, saat ini pemerintah belum mempunyai payung hukum yang mengatur penundaan pelaksanaan Pilkada atas keputusan nasional. Selama ini sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 Pasal 120 penundaan Pilkada bersifat bottom up. Daerah mengusulkan penundaan karena keadaan memaksa seperti kerusuhan dan bencana alam kepada KPU Daerah yang kemudian meneruskan ke KPU Pusat.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) diharapkan Titi bisa segera dibuat pemerintah, agar menjadi payung hukum bagi penundaan Pilkada 2020 beserta mengatur mekanisme pengisian lowong jabatan.
Selain agar tidak terjadi tumpang tindih jabatan, menurut Titi, perlu pengaturan mekanisme pengisian lowong jabatan untuk memastikan Pjs adalah ASN. Sebab dikhawatirkan penunjukan perwira polisi aktif sebagai Pjs seperti pada Pilkada 2018 akan terulang dan justru menambah masalah dalam pelaksanaan kembali Pilkada 2020.
Pada Pilkada 2018, misalnya M. Iriawan yang merupakan perwira tinggi polisi diangkat menjadi Pjs Gubernur Jawa Barat setelah Ahmad Heryawan habis masa jabatan. Ombudsman RI saat itu menilai pengangkatan M. Iriawan melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Kedua Undang-Undang itu mengatur perwira polisi aktif dilarang berpolitik praktis, termasuk mengisi jabatan politik seperti Pjs Gubernur.
“Jadi harus dipastikan jangan lagi ada polisi. Harus birokrat karier agar bisa mengurus pemerintahan. Karena birokrat karier yang mengerti nomenklatur birokrasi sipil,” kata Titi.
(Baca: Setumpuk Masalah Logistik dan Pangan di Balik Darurat Corona)
ASN Bisa Tak Netral
Peneliti Center for Strategic and Interantional Studies (CSIS) Arya Fernandez menyoroti kemungkinan ASN tak berlaku imparsial saat Pilkada 2020 digelar kembali.
Sesuai Pasal 71 Undang-Undang Pilkada, kepala daerah dilarang melakukan mutasi jabatan terhitung 6 bulan sebelum tahapan penetapan calon hingga jabatannya berakhir. Bila Pilkada 2020 berjalan semestinya, maka per Januari lalu mereka sudah tak bisa memutasi pejabatnya. Dengan kondisi saat ini, mutase berpeluang tetap dilakukan.
Hal itu, kata Arya, bisa memberi peluang bagi petahana untuk menempatkan orang kepercayaannya di posisi strategis. Sehingga saat jabatannya berakhir dan tahapan pemilu dimulai kembali, orang-orang itu bisa membantu upaya petahana memenangi Pilkada.
Arya menyatakan penundaan Pilkada 2020 akan membuat ongkos politik membengkak, mengingat persiapan akan semakin panjang dan modal yang telah keluar sebelumnya belum tentu mendapatkan hasil elektoral. Maka dengan mengatur orang kepercayaan di posisi strategis, petahana bisa memainkan anggaran daerah untuk kepentingan politiknya.
Berpeluang juga orang kepercayaan itu terpilih menjadi Pjs Gubernur atau Wali Kota yang semakin menguntungkan petahana. Sebab sangat mungkin di antara mereka sudah berpangkat pejabat tinggi madya dan pratama.
“Yang terjadi biasanya para pejabat dinas di daerah lebih memilih setia kepada kepala derah petahana karena peluang terpilihnya besar. Dengan begitu jabatan mereka aman,” kata Arya kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).
Pendapat Arya tak berlebihan. Hasil penelitian Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2018 di Jawa Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Jambi, dan Kalimantan Timur menemukan tujuh penyebab ASN tidak imparsial. Dari seluruhnya, motif mendapatkan/mempertahankan jabatan mendapat nilai tertinggi sebesar 43,4%. Selengkapnya bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:
Dalam penjelasan penelitian itu, KASN menyatakan motif mendapatkan/mempertahankan jabatan menjadi paling tinggi karena kepala daerah berperan juga sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Wewenang PPK adalah memutasi, mempromosikan dan mendemosi ASN. Akibatnya, ASN menjadi dilematis antara tetap menjaga netralitasnya atau mengikuti kepentingan politik kepala daerah.
Sejak Pilkada serentak dilakukan pada 2015 sampai 2018, KASN menerima 627 aduan pelanggaran di seluruh Indonesia. Jumlah aduan tertinggi adalah pada 2018 sebanyak 491. Paling sedikit pada 2015 sebanyak 29 aduan. Dari rentang tahun itu, aduan paling banyak datang dari Provinsi Sulawesi Selatan sejumlah 117, disusul Sulawesi Utara sejumlah 112 aduan, lalu Lampung dengan 31 aduan.
Pelanggaran ASN, kata Arya, akan membuat kualitas pemilu memburuk. Selurus dengan itu, kualitas kepala daerah yang dihasilkan pun akan buruk. Kondisi ini sangat merugikan publik yang terdampak langsung dari pelaksanaan birokrasi di daerah.
(Baca: Berlaku PSBB, Pemerintah Tak Tanggung Kebutuhan Dasar Masyarakat)
Kerja Kepala Daerah Terpilih Tak Maksimal
Menurut Arya, implikasi lain penundaan Pilkada 2020 adalah kepalah daerah terpilih nantinya tak akan bisa bekerja secara maksimal. Asumsinya, dengan melihat tren virus Corona saat ini yang belum mengalami penurunan di Indonesia maka paling ideal penundaan dilakukan setahun. Termasuk memperhitungkan upaya pemerintah dalam memulihkan kembali kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pasca pandemi Corona. Sebab pemilu mustahil berjalan lancar bila semuanya belum pulih.
Penundaan setahun akan membuat kepala daerah terpilih mulai menjabat secepatnya akhir 2021 dan selambatnya awal 2022. Sedangkan, Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Pilkada menyatakan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2020 mempunyai masa jabatan sampai 2024. Sebab pada 2024 akan berlangsung Pilkada serentak nasional berbarengan dengan Pilpres dan Pileg.
Artinya, kepala daerah terpilih nanti hanya akan menjabat selama lebih kurang dua tahun. Menurut Arya, ini membuat kerja mereka tak maksimal karena Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dipersiapkan untuk waktu 5 tahun.
“Setahun awal mereka (kepala daerah) biasanya fokus penyesuaian kebijakan baru dan anggaran. Setahun sisanya mereka sudah harus memulai persiapan tahapan pemilu. Programnya akhirnya tidak terlaksana,” kata Arya.
Kondisi tersebut mengancam penurunan kualitas pelaksanaan birokrasi di daerah-daerah tersebut. Efek lanjutannya adalah penurunan indeks reformasi birokrasi.
Mengacu hasil evaluasi Kemenpan-RB pada 2018, indeks reformasi birokrasi di daerah belum mencapai 70 poin di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi hanya mengalami kenaikan o,98 poin dari 61,75 poin pada 2017 menjadi 62,73 poin. Di tingkat kabupaten/kota menurun dari 57,72 poin menjadi 53,54 poin.
Guna mengantisipasi hal itu, Arya menyarankan aturan Pilkada serentak nasional pada 2024 diubah. Dengan begitu masa jabatan kepala daerah akan sampai 5 tahun seperti semestinya dan kerja-kerja pembangunan daerah bisa terpenuhi.
(Baca: Jalan Cepat Ampuh Melandaikan Kurva Pandemi Corona)
Partai Setuju Pilkada Ditunda
Dari sisi partai politik yang menjadi peserta resmi dan berkepentingan, penundaan Pilkada 2020 tak menuai penolakan, seperti dari Nasdem, Golkar dan PKB.
Nasdem menjadi yang paling banyak menang di Pilkada 2018 dengan 10 provinsi. Golkar memenangi 9 provinsi. Sementara PKB menang di 6 provinsi. Saat itu ada 15 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada.
Ketua DPP Golkar, TB Ace Hasan Syadzily menyatakan partainya memandang penundaan Pilkada sangat penting demi menjaga warga tidak tertular virus Corona. Partainya pun telah menginstruksikan seluruh kader di daerah, khususnya para anggota legislatif, untuk turut serta menyukseskan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pemerintah.
“Kami instruksikan mereka mengawasi penggunaan dana penanganan Corona di daerah dan meminta kepala daerah menganggarkan semaksimal mungkin,” kata Ace kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).
Wakil Ketua Umum Nasdem, Ahmad M Ali menyatakan saat ini partainya tak lagi fokus pada kepentingan politik elektoral termasuk Pilkada 2020, tapi bantuan kemanusiaan untuk pengentasan Corona. Sehingga, ditunda berapa lama pun tahapan Pilkada 2020 Nasdem tak masalah. “Partai gila kalau masih bicara konsolidasi."
Sementara Ketua DPP PKB Yaqut Cholil Qoumas menegaskan “bagi PKB kemanusiaan jauh lebih penting dibanding politik.”
Ketiga pengurus teras partai itu, pun tak khawatir akan mengalami penurunan suara dari yang telah ditargetkan. Mereka telah mempersiapkan strategi guna menyongsong segala kemungkinan buruk. Salah satunya menimbang ulang rekomendasi yang sebelumnya telah dikeluarkan berdasarkan kondisi politik terbaru usai masa penundaan Pilkada 2020.
Menanggapi sikap tiga partai ini, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menganggap wajar. Sebab dalam Pilkada figur lebih menentukan ketimbang partai politik. “yang paling tertekan adalah tokoh-tokoh publik yang berkeinginan maju di Pilkada 2020 nanti,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).
Seandainya ada partai yang terdampak, menurut Sirojudin adalah PDIP. Partai ini memiliki kaitan langsung dengan Presiden Jokowi yang tengah disorot publik dalam menangani virus Corona. Bila salah langkah dan membuat publik tak puas, besar kemungkinan memengaruhi persepsi PDIP secara nasional.
Walhasil kandidat yang diusung PDIP di Pilkada 2020, terutama yang murni kader mereka, akan mendapat sentimen negatif dari publik.
Namun, menurut Sirojudin, survei lembaganya yang belum dipublikasikan terkait persepsi publik terhadap langkah Jokowi dalam mengatasi Corona sejauh ini menunjukkan sentimen positif. “Publik masih confident dengan langkah Pak Jokowi. PDIP masih bisa bernapas lega."