Pengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan apabila Jokowi mengincar stabilitas jangka pendek, maka Demokrat lebih menguntungkan ketimbang PAN yang dianggap inkonsisten mendukung Jokowi pada 2014-2019. Meski demikian, meroketkan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentunya jadi risiko tersendiri bagi internal koalisi mengingat Pilpres 2024 di depan mata.

"Kalau Jokowi melihat (stabilitas) jangka panjang, mungkin memilih PAN karena mereka tak punya figur kuat," kata Arif kepada Katadata.co.id, Selasa (2/7).

(Baca: Golkar Terbuka Jika Partai Lain Masuk Koalisi Jokowi-Maruf)

Peneliti Lingkar Survei Indonesia Rully Akbar mengatakan secara historis dua partai ini tidak pernah menunjukkan gaya oposisi yang jelas sehingga laik dianggap berpeluang masuk ke dalam pemerintahan. Sementara, bagi PKS dan Gerindra, masuk pemerintahan berisiko membuat kehilangan basis pemilihnya. "Bisa dibilang mereka berdua ini kan isinya anti Jokowi," kata Rully kepada Katadata.co.id.

Menurut Arif dan Rully koalisi yang terlalu gemuk di parlemen membahayakan demokrasi dan soliditas koalisi itu sendiri. Arief bahkan memprediksi kestabilan koalisi politik Jokowi-Ma'ruf hanya bertahan dua sampai tiga tahun saja. Pasalnya jelang 2024, maka parpol akan kembali sibuk bermanuver masing-masing. "Bukan tidak mungkin polarisasi akan kembali terjadi di dalam dan antar koalisi," kata dia.

Rully mengatakan pemerintahan yang sehat perlu oposisi yang juga kuat meski tidak semua parpol siap menjadi oposisi. Meski demikian, ia meyakini partai besar lebih mampu menjalani peran oposisi laiknya yang dilakukan PDIP selama dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya pikir kecuali partai baru, partai lainnya siap," ujarnya.

Simulasi Suara Koalisi Hasil Pemilu 2019 dengan atau tanpa PAN-Demokrat

Suara Kubu JokowiOposisi (Gerindra-PKS)
01 Tambah PAN-Demokrat76,62%22,87%
01 Minus PAN-Demokrat62,01%37,48%

Pendapat pengamat tersebut seakan diperkuat oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Mardani Ali Sera. Dia mengajak koalisi partai politik pemdukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk melanjutkan kebersamaan menjadi oposisi konstruktif. Ia menganggap menjadi oposisi yang kritis merupakan pilihan paling rasional bagi partainya saat ini. 

(Baca: Politisi PKS Ajak Eks Koalisi Pendukung Prabowo Jadi Oposisi Jokowi)

"Kami harus mengakui kemenangan Jokowi-Ma'ruf dan kami sama-sama mencintai negeri, tetapi tidak dengan bersama dalam koalisi. Kami menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif," kata Mardani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (7/1).

Apabila bagi-bagi jatah kekuasaan berbalut rekonsiliasi politik sulit dilakukan, Arif Susanto menyarankan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mengambil dua jalan lain. Pertama, berkoalisi dengan partai pendukung Prabowo di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang. Kedua, mengakomodir keinginan parpol pendukung 02 dalam legislasi di DPR. "Power sharing akan sulit karena sumber daya terbatas, kue (kekuasaan) tetap, yang dibagi malah lebih banyak," kata dia.

(Baca: Jokowi Mulai Terima Masukan Parpol untuk Menyusun Kabinet Baru)

Ancang-ancang sebagai oposisi demi menjaga demokrasi juga telah diambil Gerindra dalam akun Twitter resminya. Akun ini menyatakan rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi, jika visi misi Indonesia Raya yang disampaikan Prabowo tak dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi. "Karena rekonsiliasi harus untuk kepentingan nasional dan bukan kepentingan penguasa," demikian cuit akun @Gerindra, Selasa (2/7).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement