Megawati adalah tokoh politik yang bisa dikatakan awal mengajak kembali Prabowo ke pentas politik nasional setelah reformasi. Prabowo sempat menyepi setelah Dewan Kehormatan Perwira pada 21 Agustus 1998 memvonisnya bersalah dalam penculikan aktivis oleh Tim Mawar di sekitaran peristiwa reformasi. Keduanya mencalonkan diri sebagai pasangan capres-cawapres pada 2009, tapi kalah dari petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hubungan harmonis Megawati-Prabowo terlihat pula usai Pilpres 2019. Pada 24 Juli 2019, mereka bertemu dan makan nasi goreng berdua di rumah Megawati, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan ini kemudian dikenal sebagai diplomasi nasi goreng, yang juga menjadi pintu masuk Gerindra masuk ke kabinet Jokowi-Ma’ruf.

Faktor pertimbangan partai adalah kesamaan visi-misi antara PDIP dan Gerindra. Antara lain mempertahankan Pancasila, NKRI Harga Mati, dan UUD 45. Begitupun aspek kepentingan paktis di lapangan untuk menguatkan basis kedua partai.

“Tentu kami partai politik punya kedaulatan, jadi bukan hanya faktor presiden,” kata Arief.

Ancang-Ancang Pilpres 2024

Hal lain yang mendasari kerja sama Gerindra dan PDIP adalah peluang bersekutu dalam kancah yang lebih besar. "Ini bisa saja akan menghasilkan satu hubungan yang lebih kuat pada Pemilu 2024," kata Arief.

Menurutnya, pilkada 9 Desember nanti akan menjadi alat uji coba kredibilitas kedua partai dalam menggaet massa dan menyolidkan kekuatan di daerah. “Tapi tentu tidak bisa dipastikan sekarang (akan berkoalisi). Targetnya menang semua, makanya ini jadi uji kredibilitas,."

Sinyal koalisi di Pilpres 2024 sebenarnya sudah lebih dulu disampaikan Megawati dalam pidatonya saat membuka Kongres V PDIP, di Hotel Inna Grand Bali Beach, Bali, 9 Agustus tahun lalu. Ia mengatakan jika Prabowo ingin mencapreskan diri lagi dan mau menang, bisa bergabung dengan partainya.

Bener loh Mas Bowo, kalau nanti (capres lagi), ya enggak tahu dong, tolong deketin saya ya,” kata Megawati saat itu.

Tepat setahun kemudian, dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Gerindra di Kompleks Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada 8 Agustus 2020, Megawati kembali memberi sinyal ke arah itu. Dalam sambutannya, ia menyebut Prabowo sebagai sahabatnya dan berharap bisa terus beriringan memperjuangkan konsolidasi ideologi Pancasila.

Dalam KLB Gerindra, Prabowo kembali terpilih menjadi Ketua Umum sampai 2025. Ia pun ditujuk lagi oleh para peserta KLB yang merupakan jajaran pengurus Gerindra dari tingkat daerah sampai pusat sebagai capres di 2024.

Perihal kerja sama di Pilkada 2020 berpeluang lanjut ke Pilpres 2024, Wakil Sekjen Gerindra Andre Rosiade tak secara tegas membantahnya sekaligus tak bisa memastikannya. Ia menyatakan, “apakah berkoalisi dengan PDIP nanti 2024, wallahua’lam.”

Andre menekankan, saat ini hubungan Gerindra dan PDIP memang baik. Ini sesuai dengan arahan Prabowo di KLB Gerindra bahhwa terbuka berkoalisi dengan partai apapun. “Asalkan merah putih dan NKRI,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (12/8).

Direktur Eksekutif Lembaga Survei SMRC, Sirojudin Abbas menilai kerja sama PDIP-Gerindra di Pilkada 2020 memang yang terbaik untuk mempersiapkan infrastruktur di Pilpres 2024. Alasannya, dengan mereka berhasil memenangi Pilkada 2020, maka peluang untuk sukses di 2024 sangat besar. Terlebih pilkada kali ini di 270 wilayah.

“Sepertiga pertarungan untuk 2024 bisa mereka menangi saat ini. Pilkada ini adalah penguasaan teritorial,” kata Sirojudin kepada Katadata.co.id, Rabu (12/8).

Sirojudin pun menilai jalinan kerja sama kedua partai tidak terlalu dini. Mengingat, pada 2024 nanti pertarungan akan mencair lagi dengan tiadanya petahana. Semua partai berpeluang. Khusus untuk PDIP dan Gerindra peluangnya lebih besar karena telah mengantongi suara banyak di pileg 2019 juga berada di tiga besar pemilik kursi terbanyak di DPR RI.

Komposisi kursi partai politik di DPR RI bisa dilihat dalam Databoks berikut ini:

Komposisi kursi di DPR RI, menurut Sirojudin, penting terkait pertarungan selanjutnya dalam pembahasan aturan pemilu. Mengingat, aturan pemilu yang mengakomodasi kepentingan mereka bisa mempermudah jalannya memenangi kontestasi selanjutnya. Sisanya, tergantung kepada proses kampanye nanti.

Di sisi lain, kerja sama di Pilkada 2020 juga bisa memanaskan mesin politik kedua partai agar pada 2024 nanti sudah siap bertarung. Ini lah yang menurutnya meskipun kandidat PDIP dan Gerindra kalah di Pilkada 2020, akan tetap membawa keuntungan.

“Kalau menang lebih besar lagi karena kepala daerah ini akan bekerja untuk 2024. Maka dengan cara itu PDIP dan Gerindra akan lebih leluasa untuk menentukan capres dan cawapresnya,” kata Sirojudin.

Pragmatisme Masih Kuat dan Mandeknya Kaderisasi

Peneliti Politik CSIS, Arya Fernandes pesimistis koalisi PDIP-Gerindra akan terwujud di Pilpres 2024. Menurutnya, sampai saat ini tak ada partai politik di Indonesia yang menjalin koalisi secara permanen. Gerindra, PAN, dan PKS yang sempat menyatakannya pada Pilkada 2018 dan menjelang Pilpres 2019 pun kini telah berpisah jalan.

Sebaliknya, Arya menilai kerja sama kali ini sebagai wujud pragmatisme politik masih kuat di kalangan partai. Penentuan kandidat yang akan diusung di pilkada bukan menjadikan kredibilitas sebagai tolok ukur utama, melainkan popularitas dan daya finansial tokoh. Ini lah yang membuat partai cenderung lebih cair dalam berkoalisi.

“Ini sementara soal barter politik saja. Misalnya, untuk mendukung Saraswati di Tangsel, PDIP minta konsesi dukung juga dong Gibran di Solo dan Bobby di Medan,” kata Arya kepada Katadata.co.id, Rabu (12/8).

Pragmatisme ini pun, kata Arya, yang mendorong seseorang bakal calon mesti memiliki finansial besar ketika berniat berkontestasi. Akibatnya, ketika terpilih fokus utama mereka adalah mengembalikan modal, termasuk melalui korupsi.

Jumlah Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi memang terus meningkat sejak pilkada serentak diselenggarakan pada 2015. Peningkatannya bisa dilihat dalam data KPK di Databoks berikut ini:

Selain itu, Arya menilai pragmatisme ini menunjukkan kaderisasi partai politik yang tak berjalan. Pilihan mereka terpaku pada figur, bahkan ketika sosok tersebut bukan kader murninya. Asal bisa berpeluang menang, didukung. Ini yang membuat sosok berlatar belakang keluarga elite politik dan ekonomi mudah mendapat rekomendasi. Seperti halnya yang terjadi pada keluarga Jokowi, Ma’ruf,  Prabowo, dan menteri yang berkontestasi di Pilkada 2020.

“Ini sulit bagi orang baru yang ingin terjun ke politik. Kariernya akan suram karena mudah dipotong elite partai dan elite lain berpengaruh yang berduit,” kata Arya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement