Beberapa yang masih merokok memutuskan untuk mengurangi konsumsinya. Hasil survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 26 Agustus lalu menyebut, dari 1.082 responden terdapat 29% perokok aktif.

Dari angka itu, sebanyak 37% mengaku mulai mengurangi konsumsinya. Dari sisi pengeluaran, 42% telah mengurangi biaya untuk merokok. Lalu, sebanyak 24% memilih membeli rokok dengan harga murah. 

Pengetatan larangan merokok di tempat publik pun mulai pemerintah daerah lakukan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru saja mengeluarkan Seruan Gubernur Nomor 8 Tahun 2021 yang salah satu isinya melarang memajang bungkus rokok di tempat penjualan.

“Tidak memasang reklame rokok atau zat adiktif, baik di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor), termasuk memajang kemasan atau bungkus rokok atau zat adiktif di tempat penjualan,” tulis Sergub tersebut.

Kebijakan ini merupakan salah satu cara menjalankan program Jakarta Bebas Rokok. Seluruh gedung di Ibu Kota pun diminta tidak menyediakan asabak dan tempat pembuangan puntung rokok pada kawasan dilarang merokok.

Komunitas bebas rokok, Smoke Free Jakarta, menyebut regulasi tersebut sudah dibahas sejak 2010 dan baru rampung sekarang. “Ini merupakan mandat Undang-Undang Kesehatan yang harus segera dituntaskan,” kata Koordinator Smoke Free Jakarta Dollaris Suhadi pada Senin lalu.

Larangan iklan rokok, menurut Dollaris, dapat menjadi strategi efektif mengendalikan angka perokok pemula, khususnya anak dan remaja. 

Hasil survei Atlas Tembakau Indonesia pada 2020 menunjukkan usia pertama kali merokok paling banyak pada umur 15 hingga 19 tahun. Angkanya mencapai 52%. Di bawahnya adalah usia 10 hingga 14 tahun, sebanyak 23%.

Direktur Riset Center for Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, industri rokok masih akan bertahan dalam waktu lama, meskipun menghadapi sejumlah hambatan. Adanya larangan iklan rokok tidak akan berpengaruh signifikan.“Regulasi tersebut untuk membatasi pertumbuhan industrinya," katanya.

Kenaikan tarif cukai juga menjadi tantangan ke depan. Namun, hal ini pun tidak akan signifikan menurunkan konsumsi rokok. Pemilik industri ini tetap akan sukses secara nasional. “Orang terkaya Indonesia masih dipegang pemilik industri rokok, yaitu Djarum dan Gudang Garam,” ucapnya. 

Melansir dari Forbes, pemilik Djarum, yaitu Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, merupakan dua orang terkaya di Tanah Air. Pemilik Gudang Garam, Susilo Wonowidjojo, berada di posisi keenam pada tahun lalu.

 

Kedua perusahaan sudah lebih dulu melakukan diversifikasi usaha non-rokok. Djarum melebarkan bisnisnya melalui Grup Djarum dengan masuk ke sektor perbankan, elektronik, minuman kemasan, properti, perkebunan, telekomunikasi, dan digital.

Di bawah kongolomerasi itu terdapat BCA, Polytron, WTC Mangga Dua, Grand Indonesia, GDP Venture, PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), dan PT Daya Network Lestari (pemilik jaringan ATM Alto). 

Lalu, GDP Venture mendanai berbagai perusahaan rintisan. Melansir dari situs resminya, perusahaan menanamkan modalnya ke Gojek, Blibli.com, Dekoruma, Halodoc, Tiketcom, Kaskus, IDN Media, Kumparan, dan lainnya. 

Gudang Garam juga mulai menginjakkan kakinya ke sektor infrastruktur. Perusahaan mendirikan PT Surya Kertaagung Toll yang bergerak dalam bidang konstruksi, perbaikan jalan, dan proyek bangunan. 

GGRM juga sedang membangun bandar udara di Kediri, Jawa Timur. Proyek ini berada di bawah anak usahanya, yaitu PT Surya Dhoho Investama. Belanja modal yang sudah perusahaan keluarkan untuk proyek ini hampir Rp 5 triliun.

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement