Meski demikian Dadan mengatakan pemerintah tetap optimistis target porsi EBT sebesar 23 % dalam bauran energi nasional pada 2025 dapat tercapai. “Mulai mengurangi pembangkit listrik tenaga uap. Harapannya, dengan PLTU dikurangi dan ditingkatkannya EBT, gap antara target RUEN dan realisasi 2022 semakin kecil,” ujarnya.

Target porsi EBT tahun ini ditetapkan 15,7 %. Untuk mendorong peningkatan menuju 23 % pada 2025, ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah.

Pertama, penyelesaian Peraturan Presiden tentang harga EBT. Kedua, implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Ketiga, mandatori bahan bakar nabati, yakni penggunaan biodiesel B30 atau pencampuran 30 % biodiesel dengan 70 % minyak solar.

Edsus Telko dan EBT Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Edsus Telko dan EBT Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) (KESDM)

Keempat, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk EBT. Kelima, kemudahan perizinan berusaha. Keenam, mendorong permintaan ke arah energi listrik melalui penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik.

Selain itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pemerintah telah menetapkan porsi EBT yang lebih besar dibandingkan energi fosil yakni 51% berbanding 49%. RUPTL ini diklaim sebagai yang terhijau. Selain itu pemerintah juga akan mempensiunkan 9,2 GW PLTU sebelum 2030.

Untuk mengurangi porsi PLTU ini bukan perkara mudah. Pasalnya, pembangkit tersebut menjadi sumber utama listrik di Indonesia. Pada 2021 porsinya 51,68 % atau 36,98 gigawatt (GW) dari total kapasitas pembangkitan listrik yang mencapai 71,55 GW. Simak databoks berikut ini.

Dari 9,2 GW PLTU yang akan dipensiunkan sebelum 2030, 5,5 GW akan dihentikan tanpa diganti dengan pembangkit listrik EBT. Dan untuk mengganti 3,7 GW sisanya dengan pembangkit EBT membutuhkan investasi sekitar Rp 372 triliun.

Meski demikian, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa belum ada PLTU yang pensiun sampai dengan 2025, melainkan diganti dengan pembangkit listrik tenaga minyak gas. Selain itu, pensiun PLTU dilakukan di akhir usia ekonomisnya, dan hanya dipensiunkan lebih dini jika ada bantuan internasional. Pensiun PLTU ini akan berkontribusi pada penurunan emisi total sebesar 53 juta ton CO2e.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, untuk mencapainya, Indonesia akan bermitra dengan pihak internasional dalam aspek technology sharing dan capacity building, bantuan teknis, dan akses teknologi terkini. Demikian juga dalam peningkatan investasi di di bidang ETB, efisiensi energi, dan proyek infrastruktur.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial juga menegaskan dukungan dari lembaga pembiayaan internasional dalam menyelesaikan masalah perubahan iklim di sektor energi. Pemerintah Inggris, Republik Federal Jerman, dan Kerajaan Denmark, menunjukan komitmennya untuk mendukung transisi energi Indonesia.

“Kami juga telah mengumpulkan lembaga pembiayaan internasional, yaitu Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia mengenai bagaimana reformasi fiskal dan struktural perlahan membantu Indonesia keluar dari ketergantungan penggunaan batubara secara bertahap,” kata Ego.

Upaya lainnya untuk menurunkan emisi karbon dari sektor energi termasuk penangkapan karbon, baik pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) maupun penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture utilisation and storage/CCUS).

Kemudian pengembangan teknologi batu bara bersih (clean coal technology) melalui gasifikasi batu bara berkalori rendah menjadi dimethyl ether (DME) dan co-firing biomassa. Ada juga penerapan nilai ekonomi karbon melalui perdagangan karbon maupun pajak karbon.

Implementasi teknologi CCS/CCUS dan batu bara bersih pun penuh dengan tantangan karena membutuhkan investasi besar. Menurut analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, untuk mengembangkan teknologi ini di Indonesia nyaris tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.

Teknologi CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara.

“Sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi. Di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, proyek CCUS yang dikembangkan terfokus pada produksi gas, bukan pembangkit listrik,” ujar Putra.

Biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$ 50 hingga lebih dari US$ 100 per ton CO2 yang tertangkap. Selama ini ada klaim yang menyebutkan bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanya berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul kegagalan proyek CCUS kelistrikan di Amerika Serikat (AS).

Di tengah keraguan itu, sudah ada 10 proyek pengembangan CCUS di Indonesia, meski hanya satu yang dikembangkan untuk batu bara. Proyek study of CCUS for coal to DME ini digarap Pertamina dengan potensi penyimpanan CO2 sebesar 13-65 juta ton selama 20 tahun.

Sementara itu, keekonomian gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi dimethyl ether (DME) menjadi sorotan karena Indonesia belum memiliki teknologinya. “Tidak mudah direalisasikan, terutama karena faktor keekonomiannya. Dibutuhkan skala besar dan jangka panjang,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kepada Katadata.co.id.

Meski demikian, proyek gasifikasi batu bara mulai berjalan di Indonesia oleh perusahaan pengolahan gas dan kimia asal AS, Air Products and Chemicals Inc. bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk. Air Products akan menggelontorkan investasi sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 210 triliun untuk membangun industri gasifikasi batu bara dan turunannya di Indonesia.

Kesepakatan investasi tersebut berupa pendirian fasilitas gasifikasi untuk konservasi batu bara bernilai rendah menjadi produk kimia bernilai tambah tinggi seperti metanol, DME (Dimethyl Ether), dan bahan kimia lainnya.

Penandatanganan MoU Investasi Air Products.
Penandatanganan MoU Investasi Air Products. (BKPM)

Jalan Panjang Penerapan Pajak Karbon

Upaya lain pemerintah untuk menurunkan emisi karbon yakni dengan mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Perpres Nilai Ekonomi Karbon mengatur tiga mekanisme carbon pricing, yakni perdagangan karbon, pungutan atau pajak atas karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.

“Adanya regulasi pasar karbon dalam bentuk Perpres tentang NEK membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim,” kata Direktur PPI Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi.

Awalnya pemerintah berencana menerapkan pajak karbon pada PLTU pada April 2022. Namun diundur menjadi pada Juli 2022. Penundaan ini antara lain karena pemerintah masih menggodok aturan pelaksana secara komprehensif.

Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres Nilai Ekonomi Karbon. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan penundaan dilakukan agar ada konsistensi antara kedua beleid tersebut.

“Kami ingin memastikan konsistensi kebijakan pajak karbon agar juga sesuai dengan konteks Perpres NEK,” ujarnya. “Selain masalah aturan pelaksana, penundaan juga dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Penerapan pajak karbon berpotensi mengerek tarif listrik.”

Rambu-rambu teknis pajak karbon tengah disusun Kementerian Keuangan, antara lain tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara aturan teknis lainnya, seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan NEK pada pembangkit tenaga listrik, akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal. Ini antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian LHK, dan Komite Pengarah NEK di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

“Isu iklim lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan melengkapi satu sama lain,” kata Febrio.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kerumitan yang muncul dari rencana pengenaan pajak karbon. Pasalnya pajak karbon yang dikenakan antara satu negara dan negara lain berbeda. Ini berpotensi menimbulkan kebocoran yang ingin dihindari pemerintah.

“Ada negara yang mematok harganya US$ 3, US$ 25, bahkan US$ 40. Harga berbeda-beda akan membuka kemungkinan kebocoran. Jadi rezim dan kebijakan pasar karbon ini memang cukup rumit,” ujar Menkeu.

Oleh karena itu, Indonesia akan menerapkan kebijakan ini secara berhati-hati dan bertahap. Apalagi, Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. “Climate change ini hampir dipastikan terjadi jika melihat kenaikan suhu dunia. Oleh karena itu, kami menyiapkankan perangkat regulasi,” kata Sri Mulyani.

Halaman:

Edisi khusus ini merupakan kerja sama Katadata dengan Institute for Climate and Sustainable Cities dan Asia Comms Lab untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

ICSC x Asia Comms Lab x Katadata
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement