Melihat pasar potensial ini, tidak heran jika operator pun mulai berbenah diri menjelajahi rimba bisnis digital di luar usaha konvensional berupa layanan data dan suara. Telkomsel sudah memulai langkah itu dengan membuat anak usaha khusus yang diberi nama PT Telkomsel Ekosistem Digital atau Indico.

Indico semacam agregator yang menjadi perpanjangan tangan Telkomsel di bisnis digital. Pada tahap awal ini, perusahaan akan berfokus di sektor health tech, edutech, dan gaming. Indico baru-baru ini resmi memasukkan Kuncie –aplikasi online learning– dan Fita yang fokus di sektor kesehatan dalam portofolionya.

Di sektor gaming, Indico mendirikan perusahaan patungan bernama Majamojo bersama dengan GoTo Group. “Ketiga sektor tersebut memiliki potensi besar untuk mendorong perekonomian digital nasional,” kata Vice President Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono, kepada Katadata.

Rasanya memang tidak berlebihan jika lini digital Telkomsel memulainya dengan sektor kesehatan dan edukasi. Laporan e-Conomy SEA 2021 menyebutkan kedua sektor ini merupakan rising star di masa pandemi. Hingga paruh pertama 2021, investasi di sektor health tech di Asia Tenggara sudah menyentuh US$ 1,1 miliar. Angka ini melonjak signifikan dari hanya US$ 800 juta pada 2020. 

Kendati demikian, laporan itu masih memberikan catatan khusus di sektor pendidikan. “[Edutech] menunjukkan pertumbuhan potensial yang sehat, tetapi investor masih wait and see menunggu jalan terbuka lebar,” tulis periset dalam laporan tersebut. 

Kue legit digitalisasi juga yang mendorong Telkom berinvestasi di GoTo. Melalui Telkomsel, perusahaan telah menyuntikkan investasi di Gojek senilai US$ 150 juta atau senilai Rp 2,11 triliun dalam bentuk obligasi konversi tanpa bunga pada 16 November 2020.

Setengah tahun kemudian, pada 18 Mei 2021, Telkomsel kembali menandatangani perjanjian pembelian saham senilai US$ 300 juta atau senilai Rp 4,29 triliun. Dengan demikian, Grup Telkom telah menggelontorkan investasi sebesar US$ 450 juta di GoTo.

Belakangan, investasi Telkom ini sempat dipersoalkan beberapa pihak. Dalam laporan keuangan kuartal satu 2022, perusahaan pelat merah ini mencatatkan kerugian yang belum direalisasi sebesar Rp 881 miliar. 

Angka ini didapatkan dari penghitungan akuntansi yakni metode marked to market, yang membandingkan nilai saham GoTo pada 31 Maret 2022 dengan periode penutupan laporan keuangan Telkom pada 31 Desember 2021. Seiring dengan terpuruknya saham GoTo beberapa waktu terakhir, Telkom pun kena imbasnya. 

Kendati demikian, Direktur Utama Tekom Ririek Ardiansyah mengatakan kebijakan investasi di GoTo tidak hanya mempertimbangkan aspek capital gain atau loss, tetapi sinergi usaha ke depan. 

Ririek mencontohkan salah satu sinergi tersebut, misalnya, Grup Telkom memperoleh pendapatan ratusan miliar pada 2021 dari pelanggan baru mitra pengemudi Gojek yang membeli paket data. “Potensi sinergi value dengan GoTo justru lebih besar dari nilai yang sudah diinvestasikan Telkom Grup,” katanya saat berbincang dengan Katadata, Selasa (17/5). 

Di sisi lain, mantan bos Telkomsel itu menegaskan, saat ini memang terjadi tren penurunan harga saham perusahaan teknologi di bursa modal global. Beberapa perusahaan teknologi dunia seperti Amazon, Facebook, dan Tesla juga mengalami penurunan harga saham yang cukup dalam. “Jadi tidak cuma Gojek yang turun,” katanya.

GoTo melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham GOTO
GoTo melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham GOTO (Dokumentasi GOTO)
 

Upaya mengejar digitalisasi bukan cuma dilakukan Telkomsel. Tidak mau ketinggalan, XL Axiata juga melakukan sejumlah terobosan semasa pandemi. Akhir tahun lalu misalnya, perusahaan meluncurkan produk XL Satu.

Produk ini merupakan gabungan dari layanan fixed broaband dan paket data seluler dalam satu bundling. Dengan demikian, pelanggan bisa mendapatkan akses internet tanpa batas, tetapi juga sekaligus akses internet dengan kuota di perangkat bergeraknya. 

“Melalui produk ini, XL mempelopori layanan konvergensi pertama di Indonesia,” kata Direktur & Chief Commercial Officer Home and Enterprise XL Axiata Abhijit Navalekar.

Hingga saat ini lini bisnis konektivitas melalui fixed broadband dan seluler memang masih menjadi penopang kinerja XL. Namun, lini bisnis enterprise terutama untuk segmen usaha kecil dan menengah juga terlihat menjanjikan. Di sektor inilah XL fokus menawarkan layanan IoT, komputasi awan, dan smart city untuk mendukung transformasi digital UKM di Indonesia.

Guna menambah kekuatan di sektor ini, XL sedang memproses akusisi 51 % saham PT Hipernet Indodata. “Pengambilalihan saham PT Hipernet Indodata merupakan keputusan strategis untuk memperkuat lini bisnis layanan korporat,” kata CEO XL Dian Siswarini. 

Perusahaan tampaknya juga akan kian fokus menjadi operator dengan layanan konvergensi fixed broadband dan seluler. Ini terlihat dari rencana XL mengakusisi saham PT Link Net Tbk yang selama ini memang fokus di sektor broadband

Merger Indosat dan Tri

Kabar besar di industri telekomunikasi itu akhirnya tiba pada 4 Januari 2022 silam. Setelah menjalani proses panjang berbulan-bulan, Indosat resmi bergabung dengan PT Hutchison 3 Indonesia (Tri). Merger itu membuat perusahaan berganti nama menjadi PT Indosat Ooredoo Hutchison.

Ini memang bukan kabar mengejutkan di industri telekomunikasi. Sudah sejak lama pemerintah mendorong operator untuk konsolidasi demi mengurangi jumlah operator di Indonesia. 

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyebutkan merger ini akan membuat pemanfaatan infrastruktur dan spektrum lebih optimal. “Kami harapkan merger dan akuisi ini bisa menghasilkan iklim industri telekomunikasi yang lebih produktif dan efisien dalam mendukung transformasi digital nasional,” kata Johnny. 

Merger ini juga disambut baik oleh para operator lain. VP Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono berharap aksi korporasi kedua perusahaan dapat menyehatkan serta mendorong perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia. “Telkomsel menyambut baik atas konsolidasi yang dilakukan,” katanya kepada Katadata

Di sisi lain, Indosat Hutchison yang kini menjadi penantang serius dominasi Telkomsel pun bergerak cepat setelah merger. Melalui anak usahanya, PT Aplikanusa Lintasarta, Indosat membentuk perusahaan patungan dengan BDX Asia Data Center Holdings Pte Ltd. Kedua entitas tersebut bersepakat mendirikan anak perusahaan dengan nilai transaksi Rp 3,3 triliun untuk mengembangkan data center di Indonesia.

Infografik_Potensi merger raksasa Indosat-Tri
Infografik_Potensi merger raksasa Indosat-Tri (Katadata)
 

Prospek Cerah Industri Telekomunikasi  

Setelah dua tahun dihantam Covid-19, prospek industri telekomunikasi nampak kian cerah tahun ini. Hal itu terlihat dari kinerja moncer empat operator sepanjang 2021. PT Telkom Tbk, misalnya, sukses meraih laba bersih Rp24,8 triliun atau tumbuh 19 % dari periode yang sama tahun sebelumnya.

XL Axiata juga sukses mencatatkan rekor laba bersih Rp 1,3 triliun. Ini merupakan laba tertinggi perusahaan sejak 2013. Indosat Hutchison bahkan mencatatkan laba bersih Rp 6,7 triliun di akhir 2021. Padahal, tahun sebelumnya perusahaan masih merugi hingga Rp 717 miliar.

Kini hanya Smartfren yang masih membukukan kinerja negatif. Namun, kerugian anak usaha Sinar Mas yang mencapai Rp 435 miliar di 2021 ini jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya sebesar Rp 1,5 triliun. “Tahun ini kami harapkan merupakan titik balik,” kata Dirut Smartfren Merza Fachys. 

Serangkaian kabar baik di industri telekomunikasi –mulai dari kinerja positif 2021 hingga merger Indosat dan Tri– boleh jadi membuat para operator sangat bersemangat menyongsong era baru transformasi digital. Sejumlah hasil riset juga menasbihkan peran penting digitalisasi yang akan menjadi tulang punggung operator telekomunikasi di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah mengatakan pertumbuhan industri di Indonesia ditopang oleh konektivitas berupa penggunaan mobile data dan fixed broadband, layanan ICT, serta layanan digital.

“Konektivitas pada kurun waktu 2020-2024 akan tumbuh sekitar 4 %, ICT akan tumbuh lebih tinggi di angka 8 %, dan digital tumbuh paling tinggi sampai 12 %,” kata Ririek dalam seminar, akhir tahun lalu.

Langkah sejumlah operator yang ngotot menggelar 5G di tengah pandemi juga menjadi sinyal positif prospek industri telekomunikasi. Meskipun penggelarannya tidak akan terlalu masif, teknologi 5G akan menjadi tulang punggung transformasi digital. Kini, yang tersisa tinggal kepiawaian operator meramu produk untuk menjawab kebutuhan pelanggan. 

“Operator akan terus mencari sumber pertumbuhan pendapatan baru selain menjaga pendapatan dari layanan konektivitas,” kata Ririek. Digitalisasi dan layanan ICT bisa menjadi jawabannya.

Penyumbang Bahan: Jonathan Vincent


Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement