Menurut Bhima, pemerintah harus berhati-hati dalam mendesain kenaikan tarif. Pemerintah dinilai perlu mengecek peningkatan konsumsi kelas menengah, tingkat inflasi, dan tantangan yang bisa menghambat daya beli.

“Jadi kenaikan tarif seolah membantu pendapatan pengemudi ojol, tapi sebenarnya bisa blunder,” Bhima menambahkan. 

Dilema Sistem Kemitraan di Ojol 

Selain harus merasakan dampak kenaikan BBM, para pengemudi ojek online harus bertahan di tengah status kemitraan mereka. Ketua Garda, Igun Wicaksono, menyebut mitra pengemudi bahkan belum diatur dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Statusnya masih ilegal [pengemudi online]. Mereka tidak dapat dilindungi sepenuhnya oleh negara,” kata Igun. 

Padahal menurut Ketua Asosiasi Driver Indonesia (ADO) Taha Syafariel, ada kecenderungan mitra pengemudi sudah bekerja selayaknya karyawan tetap. Menurutnya, aplikator kini mengatur klasifikasi mitra pengemudi berdasarkan jumlah pesanan yang berhasil mereka selesaikan. 

Selain itu, para pengemudi dihimbau untuk menggunakan jaket, helm, hingga kemeja khusus untuk pengemudi taksi daring agar pesanan lebih banyak yang masuk.

“Padahal dulu sebelum ada driver kelas platinum, gold, dan lain-lain ini, pesanan masuk ke driver yang terdekat dengan titik penjemputan. Sekarang kalau klasifikasinya rendah malah bisa jauh-jauh, yang klasifikasi lebih tinggi jadi diuntungkan,” jelas Ariel dalam sambungan telepon pada Katadata, Sabtu (3/9)

Dengan kebijakan tersebut, pria yang akrab disapa Ariel ini melihat para mitra cenderung bekerja layaknya pekerja paruh waktu. Mereka dinilai berdasarkan performa jumlah pesanan yang diambil, sehingga waktu kerja mereka pun meningkat. Adanya seragam juga membuat mitra bekerja seolah-olah seperti karyawan yang digaji oleh perusahaan.

“Kalau aplikasi mau pakai sistem sekarang, mereka bisa mengubah dari mitra jadi tenaga kerja paruh waktu. Kalau enggak mau, harus kembali ke marwah sebagai platform digital,” kata Ariel. 

Sistem kemitraan yang saat ini berlaku bukan tanpa cela. Peneliti Institute of Governance and Public Affairs, Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto menilai sistem kemitraan membuat hubungan kerja antara pihak aplikator dan pengemudi menjadi eksploitatif. Tahun lalu, Arif mewawancara 290 pengemudi ojol di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.



Ia menuangkan hasil wawancara tersebut dalam penelitian berjudul ‘Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja Mitra Industri Transportasi Online’. “Sistem kemitraan yang digemborkan pihak aplikator itu palsu,” katanya kepada Katadata.

Ia punya beberapa alasan untuk mendukung argumennya tersebut. Pertama, semua keputusan penting jadi kewenangan aplikator. Keputusan soal tarif, sanksi, bonus, mekanisme kerja, hingga algoritma misalnya diputuskan sepihak oleh perusahaan. Kedua, perusahaan mengontrol proses kerja ojol. Ketiga, aplikator memonopoli aspek data dan informasi. 

Arif menuturkan sistem kemitraan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20/2008 tentang UMKM. Pasal 1 ayat 12 menyebut kemitraan harusdilakukan atas dasar saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan.

“Ini yang tidak kami temukan di lapangan saat melakukan wawancara dengan pengemudi online,” kata Arif. 

Sistem karyawan tetap bagi para pengemudi ojol, menurut Arif, sangat mungkin diterapkan. Salah satu caranya dengan memastikan aspek legalitas ojol melalui revisi UU LLAJ. Menurut Arif, tuntutan para ojol untuk menjadi karyawan sebetulnya sudah sering dilakukan, tetapi tidak kunjung mendapatkan respons.

Terkait tuntutan ini, Kemenhub justru terkesan angkat tangan. “Hal ini kami serahkan pada kedua belah pihak,” kata juru bicara Kemenhub Adita Irawati kepada Katadata Selasa (30/8).

Pihak aplikator sendiri irit bicara soal kemitraan pengemudi online. Saat ini tiga aplikator yakni Gojek, Grab, dan Maxim, memang sudah dilibatkan oleh Komisi V DPR dalam rencana revisi UU LLAJ. Lembaga legislatif juga sudah memasukkan revisi UU LLAJ dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2022.

Bagi pengemudi seperti Suherman, apapun kasak-kusuk di level atas tampaknya tidak akan berdampak banyak terhadap dirinya. Meskipun pesanan terkadang membuatnya harus berkendara ber jam-jam, Suherman tidak punya pilihan lain selain menjalaninya. 

“Cuma kalau bisa potongannya balik ke 10% deh, kayak dulu,” katanya.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement