“Bayarannya bagus, tetapi tekanan kerjanya sangat besar. Saya berhenti sebagai chef dan kini fokus mengajar,” katanya.

Beberapa tahun lalu, Bonny memulai karir barunya sebagai pengajar di salah satu sekolah memasak di London. Awalnya berjalan lancar. Pekerjaan itu cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Namun, setahun terakhir, ia mulai merasa pendapatannya tak lagi cukup. Harga-harga melambung tinggi sementara gajinya tak kunjung naik. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengambil pekerjaan sampingan sebagai sopir.

“Sekarang saya bekerja 7 hari sepekan. Senin-Jumat sebagai pengajar dan Sabtu-Minggu menjadi sopir,” ujarnya.

Bonny bercerita banyak koleganya yang melakukan hal serupa. Kenaikan harga energi dan pangan membuat banyak warga Inggris terpaksa bekerja seminggu penuh tanpa punya hari libur. Secara kasat mata, London boleh saja terlihat sibuk tetapi menurut Bonny, warga Inggris menanggung beban berat di pundak mereka.

“Saya tidak melihat masa depan di negara ini. Saya sedang mengumpulkan uang untuk kembali ke Pantai Gading,” katanya.

Opsi mudik ke kampung halaman juga jadi pertimbangan serius bagi pasangan asal Spanyol, Pablo dan Carmen. Keduanya sudah lima tahun bermukim di London dan punya pekerjaan mapan. Anak pertama mereka, Alejandro, juga lahir di kota ini. Namun, setahun terakhir, Pablo merasa kehidupannya di London semakin berat.

Agar bisa bekerja penuh, keduanya harus menitipkan Alejandro di jasa penitipan anak. Biayanya sekitar 1.300 poundsterling per bulan, setara dengan sebulan gaji pekerja kasar di Inggris. Itu pun sudah yang paling murah. 

“Punya anak di London itu mahal sekali biayanya. Bayangkan nasib pekerja yang gajinya hanya 1.000-1.500 poundsterling per bulan, bagaimana mereka membayar jasa penitipan anak?,” kata Pablo.

Pablo juga mengeluhkan harga energi dan bahan pangan yang melonjak beberapa bulan terakhir. Ia bercerita setahun lalu, uang 90 pounsterling sudah bikin penuh keranjang belanjaannya. Namun belakangan, dengan uang yang sama keranjangnya cuma terisi setengah.

Pasangan ini pun mulai mempertimbangkan untuk pulang kampung ke Spanyol. Selain harga-harga yang kian mahal, Pablo juga merasa akan selamanya terjebak biaya sewa apartemen di London yang kian melangit.

Pendapat Pablo tercermin dari indeks harga konsumen (IHK) termasuk biaya kepemilikan rumah yang mencapai mencapai 8,8%  pada September 2022.

“Beli properti di London?  Saya bahkan tidak berani bermimpi,” katanya.

Tepi Jurang Resesi

Bukan cuma warga Inggris yang pesimistis terhadap masa depan negeranya. Sejumlah lembaga internasional juga meramalkan kondisi berat Inggris, setidaknya di 2023. Laporan International Monetary Fund (IMF) menyebut perekonomian Inggris akan tetap tumbuh 3,6% di 2022. Namun di 2023, pertumbuhan ekonomi perekonomian akan anjlok ke 0,3%. Prediksi ini lebih rendah dari perkiraan IMF sebelumnya di angka 0,5%. 

Menurut laporan IMF itu, inflasi tinggi memaksa bank sentral Inggris menaikkan suku bunga secara bertahap. Akibatnya, bunga pinjaman akan kian mahal bagi rumah tangga dan bisnis. Saat ini, suku bunga Bank of England mencapai 2,25% dan diprediksi akan kembali ditingkatkan dalam waktu dekat. 

“Menurut saya risiko resesi akan lebih dalam dan lebih lama dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya,” ujar Ruth Gregory, ekonom senior Capital Economics, seperti dikutip dari CNN International. 

Bagi PM baru Rishi Sunak, ini akan menjadi tantangan berat. Dalam pidato resmi pertamanya sebagai PM, Sunak menyebut persoalan ekonomi yang melanda Inggris bukan pekerjaan yang mudah untuk diselesaikan. 

“Akan banyak keputusan sulit yang harus diambil,” kata Sunak. 

Saat ini, tugas pertama Sunak adalah mengembalikan kepercayaan investor terhadap pemerintah. Ini penting sebab sejak Liz Truss merencanakan pemangkasan pajak besar-besaran, pasar meresponnya dengan sangat buruk. Sunak juga menyebut Truss melakukan sejumlah kesalahan saat ia masih memimpin.

Berkebalikan dengan Truss, Sunak dan Menteri Keuangan Jeremy Hunt justru berencana menaikkan pajak korporat. Melansir CNN International, Hunt akan mengerek pajak perusahaan 19%-25% pada musim semi tahun depan. Hunt juga disebut-sebut mengincar pendapatan melalui pajak tambahan (windfall tax) dari perusahaan minyak dan gas. 

Rishi Sunak memang punya latar belakang sebagai ahli keuangan di Goldman Sach. Namun, bagi warga biasa seperti Pablo, ia dianggap hidup di dunia yang berbeda. Sunak hidup bergelimang harta sehingga Pablo merasa akan sulit bagi pemimpin baru mengerti persolan di akar rumput.

Drama politik di Westminster Palace juga menambah pelik persoalan. Seperti orang kebanyakan, Pablo tidak tahu kebijakan seperti apa yang akan diambil oleh kabinet baru.

“Lagipula siapa yang bisa menjamin Sunak akan bertahan lama untuk membuat kebijakannya efektif,” katanya skeptis terhadap politik Inggris. 

Sepanjang pekan terakhir bulan Oktober itu, Londoners tumplek ke jalanan menikmati cuaca hangat yang langka. Namun di pundak mereka, harapan suram menganga lebar.  Di tengah padatnya Camden Lock Market, saya membayangkan kehidupan Pablo, Carmen, dan bayinya Alejandro yang menggemaskan. Frasa terkenal dari film Game of Throne ‘Winter is Coming’ tiba-tiba terngiang di kepala.

“Saya pesimistis. Beberapa bulan ke depan akan jadi kehidupan yang berat buat kami,” keluh Pablo.

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement