Menurut Yobel, dioksin dikenal sebagai 'forever chemical' yang tidak bisa luruh di alam, dan menempel pada lemak manusia. Dioksin dapat menyebabkan kanker, gangguan hormon, gangguan pada sistem reproduksi hingga kecacatan pada bayi baru lahir. 

Dioksin ini muncul dari proses pembakaran limbah yang mengandung klor, seperti plastik, yang tak sempurna. "Padahal dalam praktiknya, pembakaran tak selalu bisa langsung dengan suhu tinggi, dan pasti ada proses shut down. Dalam proses ini pasti ada dioksin yang terlepas," kata dia.

Persoalannya, kata dia, perhitungan dioksin di Indonesia hanya menghitung kadar dioksin di cerobong. Padahal, kata dia, dioksin juga ditemukan pada abu yang dapat mencemari tanah dan air yang akan mencemari lingkungan.

Di Lausanne dan Old Town, Swiss, ditemukan kadar dioksin cukup tinggi dalam tanah pada 2021 lalu yang diduga berasal dari insinerator Vallon. Sementara itu, pemerintah Denmark menutup 6 dari 23 insinerator pengolahan sampah menjadi energi pada 2020 lalu karena dinilai tak sejalan lagi dengan ambisi negara itu untuk mengurangi emisi.

Persoalan polutan PM2.5 dari insinerator yang juga mengancam kesehatan menghantui Inggris. Pada 2019 lalu, ditemukan perbedaan klaim antara dokumen perencanaan dengan fakta di lapangan. Ketika diuji, insinerator di seluruh penjuru Inggris memproduksi 1,8 juta miliar-29,1 juta miliar partikel PM2.5 per satu insinerator.

Munculnya berbagai persoalan terkait insinerator ini membuat Uni Eropa memutuskan untuk menyetop pembangunan insinerator baru dan melarang pendanaan insinerator dari pembiayaan hijau atau pembiayaan untuk iklim. Insinerator dianggap lebih banyak menimbulkan bahaya ketimbang memberi manfaat antara lain menghambat ekonomi sirkular dan berisiko tinggi terhadap kesehatan.

Menurut Yobel, ancaman kesehatan pada pembakaran kayu juga tak kalah tinggi. Partikel debu dari pembakaran di suhu yang sangat tinggi akan menghasilkan partikel halus. Ia mengatakan semakin halus partikel, semakin sulit keluar dari jalur pernapasan sehingga berisiko menimbulkan gangguan pernapasan. "Ditambah lagi debu batu bara dari PLTU," kata dia.

Sejumlah peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health pada 2022 lalu juga menyatakan biomassa tidak 'health neutral'. "Polusi udara dari pembakaran biomassa dapat menyebabkan eksaserbasi asma, rawat inap karena serangan jantung dan penyakit pernapasan, cacat lahir, penyakit neurodegeneratif, dan kematian, di antara banyak dampak kesehatan lainnya," kata Jonathan Buonocore, peneliti Harvard, (27/3) lalu.

Riset yang dilakukan Buonocore menunjukkan pembakaran biomassa di gedung, industri, dan pembangkit listrik menyebabkan lebih banyak kematian daripada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara konvensional. "Komitmen untuk energi bersih dengan mempertimbangkan iklim dan kesehatan masyarakat, dapat mengarahkan kita pada jalur menuju sistem energi yang lebih sehat," kata dia.


Klaim Penurunan Emisi vs Utang Emisi

Meski diklaim ampuh menurunkan emisi, riset Trend Asia menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, stok karbon hutan alam yang hilang saat membangun hutan energi tak dapat digantikan oleh stok karbon keseluruhan HTE yang dibangun.

Adapun selisih net emisi dari hutan yang hilang berada di angka 6,8 juta-11,3 juta ton CO2e. Selain itu, emisi yang dihasilkan untuk mengolah kayu menjadi serbuk atau pelet kayu sebesar 1.125 ton CO2e. Sehingga, total emisi co-firing dari hulu ke hilir berkisar 7,9 juta-26,5 juta ton CO2e per tahun.

Amalya mengatakan klaim co-firing sebagai netral karbon adalah keliru karena seluruh emisi yang dihasilkan dari hulu hingga ke hilir menjadi utang yang tak dapat dilunasi dengan menanam tanaman energi -- yang akan dipanen kembali. "Namun klaim itu malah dijadikan justifikasi untuk jual beli karbon PLTU," kata dia.

Sementara itu, United Kingdom Without Incineration Network menemukan ada perbedaan perhitungan emisi yang terlepas antara dokumen perencanaan insinerator di Inggris dengan fakta operasionalnya. Rata-rata insinerator melepaskan emisi karbon dengan jumlah 464-537 ton CO2e per tahun. Lebih tinggi 20% dari perencanaannya yaitu 353 ton Co2e per tahun.

Menurut Yobel, insinerator merupakan metode yang paling intensif karbon untuk menghasilkan listrik. "Lebih emitif dari batu bara karena dalam pelaporannya tidak melihat secara keseluruhan. Pemerintah kekeh melihatnya secara parsial dan hanya di hilir. Misalnya plastik tercatat di sektor limbah, pembakarannya di sektor yang lain, tidak utuh melihat dalam satu kesatuan siklus hidupnya," kata dia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement