“Pembatasan konsumsi MBDK, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik memang mendesak dilakukan,” kata Calista.

Rosyada dan Ardiansyah sempat menyusun Kajian Ekonomi Keuangan yang diterbitkan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2017). Di dalamnya tertulis tingkat konsumsi MBDK di Indonesia dalam 20 tahun terakhir juga mengalami peningkatan hingga 15 kali lipat, dari semula sekitar 51 juta liter (1996) menjadi 780 juta liter (2014).

“Pada 1996 mayoritas konsumsi MBDK adalah jenis minuman berkarbonasi/mengandung CO2, sekitar 24 juta liter,” tulis laporan tersebut.

Namun tren ini berubah pada 2005. Jumlah konsumsi minuman ringan berpemanis mengalami kenaikan sangat signifikan, sebesar 105%. Sedangkan tren beralih dari minuman soda menjadi air teh dalam kemasan, dengan tingkat konsumsi hampir mencapai 110 juta liter.

Kecenderungan mengonsumsi teh kemasan ini terus berlanjut setidaknya hingga data 2014. Pada tahun tersebut konsumsi MBDK meningkat sekitar 71% dari 2015 (sekitar 9 tahun) dengan mayoritas konsumsi terhadap teh dalam kemasan sebesar 405 juta liter.

Ketergantungan masyarakat Indonesia pada konsumsi minuman manis kemasan membuat negara kita menempati posisi ketiga dalam daftar konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.

“Dengan menunda pengesahan cukai MBDK pada tahun ini, padahal sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, artinya pemerintah seolah abai soal fakta konsumsi minuman berpemanis yang meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” tambah Calista.

PERMINTAAN MINUMAN KEMASAN MENINGKAT
Ilustrasi minuman kemasan. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman/wsj.)

Hitung-hitung Besaran Cukai MBDK

Maju mundur penerapan cukai MBDK salah satunya juga dipicu protes sebagian masyarakat dan pengusaha yang sangsi soal efektivitas penerapan cukai. Mereka meminta obesitas dan ragam penyakit kardiovaskular ditekan lewat kebijakan kesehatan, alih-alih fiskal.

“Sebetulnya kita yang harus mengubah budaya atau kebiasaan kita, karena mau diberikan cukai berapa pun kalau sudah biasa membuang sampah plastik sembarangan, atau mengonsumsi minuman manis, itu tidak akan berpengaruh,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman pada 2 Juli lalu.

Padahal implementasi cukai MBDK di 48 negara terbukti berhasil menurunkan tingkat konsumsi minuman manis. Meksiko, misalnya, mampu menurunkan jumlah pembelian minuman manis sebesar 12% per kapita per hari dengan penerapan cukai MBDK 9% dari harga produk.

Di kawasan Amerika, penerapan cukai MBDK juga diprediksi menurunkan konsumsi minuman manis sampai 24%. Sedangkan di Inggris, kebijakan ini berbuah pada penurunan konsumsi gula rumah tangga sebesar 10% per minggu.

Produsen minuman pun kemudian terdorong untuk melakukan formulasi ulang agar produknya lebih rendah gula sebanyak 29,5 gram dari jumlah sebelumnya.

Dari sisi kesehatan, studi pemodelan di Thailand juga menunjukkan cukai MBDK sebesar 20%-25%mampu menurunkan prevalensi obesitas sebesar 3,83%-4,9%.

Untuk Indonesia, Studi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merekomendasikan tarif minimum cukai sebesar 20% dari harga produk. Besarannya bisa bervariasi tergantung komposisi pemanisnya—semakin tinggi kandungannya, cukai juga akan semakin besar.

“Jumlah tersebut dapat mengurangi permintaan masyarakat terhadap produk MBDK hingga 17,5% dan diestimasikan menambah pendapatan negara hingga Rp 3,6 triliun dalam setahun,” tulis studi yang mereka publikasikan.

Produk-produk yang dikenakan cukai MBDK menurut CISDI tak terkecuali semua minuman berpemanis dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan. Variannya berupa susu cair pabrik, susu kental manis, kopi instan, air teh kemasan, minuman bersoda/mengandung karbon dioksida, sari buah kemasan, minuman kesehatan, dan minuman berenergi.

“Hasil dari studi elastisitas harga menunjukkan bahwa permintaan pada beberapa jenis produk MBDK yang dianalisis cenderung berkurang ketika terjadi kenaikan harga.”

Kenaikan rata-rata harga MBDK sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan permintaan produk MBDK rata-rata sebesar 1,09%.

Jika cukai dikenakan sebesar 20%, penurunan permintaan tertinggi terjadi pada kelompok produk minuman sari buah kemasan (18,64%), disusul kopi instan dan minuman teh kemasan (18,3%), susu kental manis (17,88%), dan susu cair pabrik (14,32%).

“Secara keseluruhan, kenaikan harga pada produk MBDK sebesar 20% berpotensi menurunkan konsumsi (permintaan) masyarakat rata-rata hingga 17,5%,” demikian ringkasan studi CISDI.

Persentase penurunan konsumsi MBDK paling tinggi ditunjukkan pada rumah tangga miskin, tinggal di daerah pedesaan, memiliki kepala rumah tangga dengan usia lebih tua dan berpendidikan lebih rendah.

Jadi, cukai bukan cuma menambah pendapatan negara, tapi terbukti berefek langsung dalam membatasi konsumsi dan menekan penyakit-penyakit mematikan akibat kelebihan gula.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement