Dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai masalah LRT Jabodebek ini muncul karena satu hal, yakni kurangnya waktu uji coba. Ia menjelaskan uji coba beban yang dilakukan baru secara statis, yakni kereta dibebani dengan pasir yang beratnya setara dengan jumlah maksimal penumpang.

Kereta tersebut masih belum menguji beban dinamis saat penumpang keluar masuk kereta. Karena itu, Djoko menyarankan agar pemerintah terbuka akan informasi ini dan menganggap satu bulan setelah operasi perdana sebagai masa uji coba.

Informasi lainnya adalah headway alias jarak antara masing-masing kereta datang ke stasiun masih belum bisa sesuai ekspektasi yakni enam menit, sebab kereta yang digunakan masih 12 rangkaian. “Terbuka saja sama masyarakat, enggak apa-apa kok. Bilang ini masih uji coba, tapi harganya Rp 5.000 saja, flat. Minimal bantu uang bensin dan listrik lah,” ujarnya. 

Dalam catatan Djoko, INKA memproduksi 31 rangkaian kereta untuk LRT Jabodebek ini. Sebanyak 27 rangkaian siap beroperasi dan empat lainnya cadangan. Kapasitas kereta dalam kondisi normal adalah 740 penumpang (konfigurasi 174 duduk dan 566 berdiri) dan dalam kondisi padat dapat diisi 1.308 penumpang. 

Djoko yang juga menjabat Wakil Ketua Pemeberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat ini juga berkaca pada LRT pertama Indonesia di Palembang. Saat beroperasi pada 2018 lalu, mesin LRT Palembang rusak hingga penumpang panik. Tapi kini LRT Palembang sudah berjalan dengan mulus. 

Untuk itu, ia berpendapat LRT Jabodebek tidak perlu diberhentikan sementara. Namun, perbaikan harus tetap dilakukan dan pemerintah bisa terbuka akan kondisi fasilitas yang ada.

Tarif LRT Jabodebek
LRT Jabodebek (ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/YU)

Fasilitas Pelengkap Masih Belum Mumpuni

Pandangan berbeda datang dari pengamat transportasi Darmaningtyas. Kesalahan wajar terjadi sebab LRT Jabodebek adalah kereta tanpa masinis pertama di Indonesia sehingga butuh pembelajaran baru.

Baik INKA sebagai produsen kereta dan KAI selaku operator LRT perlu belajar dari pengalaman dan memastikan perjalanan LRT lancar. 

Ia justru merasa kecewa dengan PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Perusahaan pelat merah ini dinilai tidak melakukan integrasi dengan baik di stasiun-stasiun LRT Jabodebek. “KAI itu batas wewenangnya di stasiun dan rel saja, kalau di sekitar stasiun ya Adhi Karya," ucapnya.

Pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai campur tangan Adhi Karya dapat dilihat dari jalur dan penempatan stasiun. Letak stasiun cenderung tidak disesuaikan dengan pemukiman sekitar tapi  bergantung pada kepemilikan lahan perusahaan berkode saham ADHI tersebut.

“Sebelumnya kan ADHI memang bergerak di properti dan transportasi. Jadi tidak ada sangkut paut dengan pemukiman sekitar, tapi lebih ke stasiun yang dekat dengan lahan properti dimana ADHI mengembangkan apartemen dan kantor. Jualannya nyambung,” kata Joga.

Dengan stasiun yang terletak jauh dari pemukiman, Djoko kemudian menggarisbawahi perlunya integrasi transportasi umum. Hal ini harus terintegrasi, mulai dari pra perjalanan alias first mile, selama perjalanan, dan setelah perjalanan alias last mile.

Mengutip Studi Potensi Jaringan Angkutan Umum dan Integrasi Moda Kawasan di Sekitar Koridor LRT Jabodebek (2020) yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia, Djoko menyebut ada 310 kawasan permukiman dan komersil di sekitar Stasiun LRT Jabodebek. Kawasan ini terletak dengan radius kurang dari 5 kilometer. 

Baru ada 2013 trayek angkutan umum yang beroperasi di radius tersebut. Pemda Bogor, Depok, dan Bekasi, masih belum siap menyediakan rute ke stasiun terdekat.

Padahal hal ini sudah dibahas sejak dua tahun lalu dengan pemerintah daerah dengan jadwal rutin tiga bulan sekali. “Harusnya Kementerian Dalam Negeri turun tangan juga, bilang ke pemerintah daerah untuk bantu masalah feeder ini,” ujar Djoko. 

Presiden menaiki LRT Jabodetabek
Presiden menaiki LRT Jabodetabek (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.)

Apakah Tarif LRT Sesuai dengan Fasilitasnya?

Masalah feeder alias transportasi menuju stasiun LRT Jabodebek ini juga berhubungan dengan tarif maksimum yang bisa dibayar oleh penumpang. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM 67 Tahun 2023, pemerintah telah menetapkan tarif LRT yakni Rp 5.000 untuk satu kilometer pertama dan Rp 700 untuk setiap kilometer berikutnya. 

 

Tapi, sekarang pemerintah menetapkan tarif flat atau rata Rp 5.000 untuk seluruh lintas pelayanan LRT Jabodebek hingga akhir September 2023. Setelah itu, pemerintah akan menetapkan tarif promo yakni untuk jarah terjauh maksimal Rp 20.000. Mengutip Instagram resmi LRT Jabodebek, tarif promo berlaku hingga akhir Februari 2024.

Melihat struktur tarif ini, Djoko berpendapat, LRT Jabodebek menyasar kelompok masyarakat menengah ke atas. Hal ini bisa membantu warga meninggalkan kendaraan pribadi, mengurangi kemacetan, dan mengurangi polusi udara. 

“Tapi harus diupayakan ongkos penumpang tidak lebih dari Rp 50 ribu untuk pulang pergi. Ini termasuk ongkos first mile dan last mile,” kata Djoko.

Angka tersebut ia tawarkan berdasar survei sebelum pandemi. Hasilnya,  rata-rata pengguna kendaraan pribadi menghabiskan ongkos transportasi di rentang Rp 75 ribu hingga Rp 100 ribu.

Pembanding lain adalah Bus JR Connection yang ia lihat cukup laris. Harga tiket bus ini Rp 20 ribu sekali perjalanan dan berhenti di pusat kota Jakarta, seperti di Monas dan kawasan Blok M. “Kalau dilihat dari rute dan fasilitas, (harga tiket) LRT Jabodebek ini masih OK sih,” ujarnya. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement